Seri Webinar Tematik
Sejarah Kebijakan Kesehatan
“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”
A. Latar Belakang
Seri Webinar Sejarah Kebijakan Kesehatan yang dilaksanakan pada periode April–Juni 2025 telah mengkaji perkembangan kebijakan kesehatan Indonesia melalui pendekatan periodisasi, mulai dari era desentralisasi (1999–2009), era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (2009–2019), era pandemi COVID-19 (2020–2022), hingga periode transformasi kesehatan pasca pandemi (2023–sekarang). Pendekatan ini memberikan gambaran kronologis mengenai dinamika kebijakan kesehatan dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, dengan menyoroti konteks sosial, politik, dan ekonomi yang membentuk arah kebijakan pada setiap era.
Namun, pemahaman yang komprehensif mengenai sejarah kebijakan kesehatan tidak hanya memerlukan pembacaan berdasarkan periode waktu, tetapi juga perlu dilakukan melalui pendekatan berdasarkan komponen-komponen sistem kesehatan. Pendekatan ini memungkinkan analisis yang lebih mendalam terhadap isu-isu strategis lintas periode, sehingga dapat mengungkap kesinambungan, perubahan, dan inovasi yang terjadi dalam setiap komponen sistem kesehatan.
Untuk itu, seri webinar yang akan dilaksanakan pada bulan September–Desember 2025 ini akan mengangkat enam komponen utama sistem kesehatan yang memiliki peran penting dalam pembangunan kesehatan di Indonesia, yaitu: Pembiayaan Kesehatan, Pendidikan Kedokteran, Produk Kesehatan: Obat dan Alat Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Informatika Kesehatan, dan Kebencanaan. Setiap komponen tersebut akan dikaji melalui perspektif empat periode sejarah kebijakan kesehatan, sehingga peserta dapat memahami bagaimana perkembangan, tantangan, dan capaian di setiap bidang tersebut membentuk sistem kesehatan nasional saat ini.
Melalui pendekatan ini, diharapkan peserta webinar selain memperoleh wawasan historis, tetapi juga mampu melihat pola dan tren kebijakan yang relevan untuk perumusan strategi kesehatan di masa depan.
B. Tujuan Umum
Memahami kebijakan kesehatan Indonesia melalui pendekatan tematik dan kajian historis yang mencakup enam isu strategis, yaitu: Pembiayaan Kesehatan, Pendidikan Kedokteran, Produk Kesehatan: Obat dan Alat Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Informatika Kesehatan, dan Kebencanaan dengan menganalisis perkembangan setiap tema lintas empat periode utama, yaitu era desentralisasi (1999–2009), era Jaminan Kesehatan Nasional/JKN (2009–2019), era pandemi COVID-19 (2020–2022), dan periode pasca COVID-19 (2023–sekarang).
C. Tujuan Khusus
- Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan utama dan kajian historisnya dalam enam tema strategis: Pembiayaan Kesehatan, Pendidikan Kedokteran, Produk Kesehatan: Obat dan Alat Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Informatika Kesehatan, dan Kebencanaan.
- Mengevaluasi dinamika dan perubahan kebijakan pada setiap tema, termasuk faktor pendorong, hambatan, dan inovasi yang terjadi lintas periode.
- Menganalisis keterkaitan antar periode dalam membentuk perkembangan kebijakan di setiap tema, untuk memahami kesinambungan dan pergeseran arah kebijakan kesehatan.
- Menyediakan ruang diskusi bagi para pemangku kepentingan, akademisi, praktisi, dan masyarakat umum untuk berbagi pengalaman dan perspektif terkait implementasi kebijakan di tiap tema strategis.
D. Metode
Seri webinar ini dilakukan secara daring
E. Target Peserta
- Pembuat Kebijakan,
- Akademisi dan Peneliti,
- Praktisi Kesehatan,
- Pimpinan Universitas, Fakultas Kedokteran, dan Kepala-Kepala Departemen, Pimpinan Organisasi Profesi,
- Pimpinan RS-RS Pendidikan,
- Pelaku Industri dan Teknologi Kesehatan,
- Mahasiswa yang berminat, dan
- Masyarakat umum yang tertarik dengan isu-isu kesehatan dan kebijakan publik.
F. Waktu Pelaksanaan
Hari & tanggal : September 2025 – Desember 2025
Waktu : 13.00 – 15.00 WIB
Link Zoom : Link Zoom akan diinformasikan
Meeting ID : Menyusul
Passcode : Menyusul
Streaming : PKMK FK-KMK UGM
G. Rangkaian Kegiatan
Pembiayaan Kesehatan
Senin, 22 September 2025 | 13.00 – 15.00 WIB
Peserta dapat memahami perkembangan kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia dari era desentralisasi hingga pasca COVID-19, termasuk implementasi JPS-BK, Jamkesda, JKN, dan inisiatif pasca pandemi seperti RIBK, HTA, NHA, serta konsolidasi pembiayaan. Webinar ini diharapkan mampu mengidentifikasi tantangan utama seperti defisit anggaran, fraud, dan rendahnya proporsi belanja kesehatan, serta membahas peluang menuju pembiayaan kesehatan yang adil, berkelanjutan, dan mendukung pencapaian Universal Health Coverage (UHC).
| Waktu | Topik | Narasumber |
| 13.00-13.05 | Pembukaan | Moderator |
| 13.05 – 13.15 | Pengantar Diskusi | Baha’Uddin, S.S., M.Hum (Dosen Departemen Sejarah FIB UGM) |
| 13.15 – 14.00 | Pemaparan Materi | M. Faozi Kurniawan, S.E., MPH (Konsultan Kebijakan Pembiayaan Kesehatan, PKMK FKKMK UGM) |
| 14.00 – 14.15 | Pembahas Diskusi | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
| 14.15 – 14.50 | Diskusi | Moderator |
| 14.50-14.55 | Penutup Diskusi atau Kesimpulan | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
| 14.55-15.00 | Penutup | Moderator |
Produk Kesehatan: Obat dan Alat Kesehatan
Jumat, 17 Oktober 2025 | Pukul : 13.00 – 15.00 WIB
Peserta dapat memahami perkembangan kebijakan produk kesehatan di Indonesia dari era awal Reformasi hingga pasca COVID-19, termasuk penguatan regulasi mutu, keamanan, dan efikasi; upaya kemandirian produksi obat dan alat kesehatan; serta strategi ketahanan nasional di sektor farmasi dan alkes. Webinar ini diharapkan mampu mengidentifikasi tantangan, peluang, dan inovasi yang mendorong ketersediaan produk kesehatan yang aman, efektif, terjangkau, dan berstandar internasional.
| Waktu | Topik | Narasumber |
| 13.00-13.05 | Pembukaan | Moderator: Aulia Putri Hijriyah, S.Sej. |
| 13.05-13.15 | Pengantar Diskusi | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
| 13.15 – 13.45 | Pemaparan Materi | Nila Munana, S.HG., MHPM. (Kontributor Buku Sejarah Kebijakan Kesehatan) |
| 13.45-14.15 | Pemaparan Materi: Kajian Historis | Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil; (Kepala Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM) |
| 14.15-14.50 | Diskusi | Moderator: Aulia Putri Hijriyah, S.Sej. |
| 14.50-14.55 | Penutup Diskusi atau Kesimpulan | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
| 14.55-15.00 | Penutup | Moderator: Aulia Putri Hijriyah, S.Sej. |
Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis dalam UU Kesehatan 2023:
Dari Agenda Setting Menuju Implementasi Kebijakan
Rabu, 29 Oktober 2025 Pukul : 13.00 – 15.00 WIB
Peserta dapat memahami perkembangan pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia lintas periode, mulai dari era Desentralisasi, JKN, pandemi Covid-19, hingga masa Post-Covid-19. Melalui pembahasan ini, peserta diharapkan dapat memahami peran pemerintah, konsil, kolegium, dan organisasi profesi dalam pengaturan pendidikan tenaga kesehatan, termasuk pendidikan kedokteran dan spesialis. Selain itu, webinar ini juga ditujukan untuk mengidentifikasi tantangan yang dihadapi, seperti distribusi dan mutu pendidikan, koordinasi antar profesi, serta kesenjangan dalam kurikulum.
| Waktu (WIB) | Agenda | Penanggung jawab |
| 08:30 – 08.35 | Pembukaan | MC |
| 08.35 – 08:55 | Pengantar: |
|
| 08:55 – 09.25 | Sesi 1: | Prof. dr. Titi Savitri, MA, M.Med.Ed,Ph.D. |
| 09:25 – 09:40 | Coffee Break | Moderator: dr. Yoyo Suhoyo |
| 09.40 – 10.20 | Sesi 2: |
|
| 10:20 – 10:35 | Diskusi & Tanggapan | Moderator: dr. Yoyo Suhoyo |
| 10.35 – 11.15 | Sesi 3: |
|
| 11:15 – 11:30 | Diskusi & Tanggapan | Moderator: dr. Yoyo Suhoyo |
| 11.30 – 11:45 | Sesi 4: | Dr. dr. Slamet Yuwono, DTM&H. MARS |
| 11:45 – 12:00 | Diskusi & Tanggapan | Moderator: dr. Yoyo Suhoyo |
| 12.00 – 13.00 | ISHOMA | |
| 13.00 – 13:30 | Sesi 5: | dr. Haryo Bismantara MPH |
| 13:30 – 13:45 | Diskusi & Tanggapan | Moderator: Rarasati |
| 13:45 – 14:15 | Sesi 6: | Dwiasih Kartika Ningrum, SKM., MHPM. |
| 14:15 – 14:30 | Diskusi & Tanggapan | Moderator: Rarasati |
| 14:30 – 15.00 | Sesi 7: |
|
| 15:00 – 15:15 | Diskusi & Tanggapan | Moderator: Rarasati |
| 15.15 – 15.25 | Wrap Up Topik A | Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD |
Pelayanan Kesehatan
Selasa, 11 November 2025 | Pukul: 13.00 – 15.00 WIB
Peserta dapat memahami perkembangan kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia dari era desentralisasi hingga pasca COVID-19, termasuk implementasi paradigma sehat, JKN, penguatan pelayanan esensial di masa pandemi, serta reformasi pasca pandemi melalui UU No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024. Webinar ini diharapkan mampu mengidentifikasi tantangan, inovasi, dan strategi peningkatan akses serta kualitas pelayanan kesehatan secara berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
Waktu | Topik | Narasumber |
13.00-13.05 | Pembukaan | Moderator: Aulia Putri Hijriyah, S.Sej. |
13.05-13.15 | Pengantar Diskusi | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
13.15 – 13.45 | Pemaparan Diskusi | Iztihadun Nisa, SKM., MPH. (Kontributor Buku Sejarah Kebijakan Kesehatan) |
13.45-14.15 | Pemaparan Materi: Kajian Historis | Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil; (Kepala Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM) |
14.15-14.50 | Diskusi | Moderator: Aulia Putri Hijriyah, S.Sej. |
14.50-14.55 | Penutup Diskusi atau Kesimpulan | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
14.55-15.00 | Penutup | Moderator: Aulia Putri Hijriyah, S.Sej. |
Informatika Kesehatan
Jum’at, 21 November 2025 | Pukul : 13.00 – 15.00 WIB
Peserta dapat memahami perkembangan kebijakan sistem informasi kesehatan di Indonesia dari era desentralisasi hingga pasca COVID-19, termasuk integrasi data, pemanfaatan teknologi digital, telemedicine, dan penguatan infrastruktur informasi kesehatan nasional. Webinar ini diharapkan mampu mengidentifikasi tantangan, peluang, dan strategi untuk mewujudkan sistem informasi kesehatan yang terhubung, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat serta krisis kesehatan di masa depan.
Waktu | Topik | Narasumber |
13.00-13.05 | Pembukaan | Moderator |
13.05-13.15 | Pengantar Diskusi | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
13.15 – 13.25 | Pengantar Diskusi | Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil; (Kepala Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM) |
13.25 – 14.10 | Pemaparan Materi | Anis Fuad, S.Ked, DEA (Konsultan Ahli Medical and Health Sciences/ Health Information Systems (Incl. Surveillance)/ Public Health and Health Services (FK-KMK UGM) |
14.10-14.50 | Diskusi | Moderator |
14.50-14.55 | Penutup Diskusi atau Kesimpulan | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
14.55-15.00 | Penutup | Moderator |
Kebencanaan
Jumat, 24 Desember 2025 | Pukul : 13.00 – 15.00 WIB
Webinar ini bertujuan untuk menelaah perkembangan kebencanaan dalam sektor kesehatan di Indonesia dari era Desentralisasi hingga masa Post-Covid-19. Pembahasan diarahkan pada bagaimana sistem kesehatan merespons bencana alam maupun non-alam, termasuk dinamika koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta kesiapan infrastruktur dan pembiayaan kesehatan dalam situasi darurat. Selain itu, webinar ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi pembelajaran penting dari pengalaman masa lalu dan arah transformasi kebijakan kebencanaan pasca pandemi, agar sistem kesehatan Indonesia lebih tangguh, terintegrasi, dan adaptif dalam menghadapi krisis di masa depan.
Waktu | Topik | Narasumber |
13.00-13.05 | Pembukaan | Moderator |
13.05-13.15 | Pengantar Diskusi | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
13.15 – 13.25 | Pengantar Diskusi | Baha’Uddin, S.S., M.Hum (Dosen Departemen Sejarah FIB UGM) |
13.25 – 14.10 | Pemaparan Materi | Madelina Ariani, SKM., MPH (Konsultan Ahli Disaster Health Management Division, Center for Health Policy and Management (FK-KMK UGM)) |
14.10-14.50 | Diskusi | Moderator |
14.50-14.55 | Penutup Diskusi atau Kesimpulan | Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. (Guru Besar, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, FK-KMK UGM) |
14.55-15.00 | Penutup | Moderator |
Reportase
Reportase
Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 1:
“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”
Senin, 22 September 2025 | 13.00 – 15.00 WIB
PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada April hingga Juni mendatang. Kali ini webinar mengangkat tema “Pembiayaan Kesehatan” yang diselenggarakan pada Senin (22/9/2025). Webinar ini menyoroti perkembangan pembiayaan kesehatan di Indonesia lintas periode, dengan fokus pada peran APBN dan JKN sebagai instrumen utama pendanaan. Selain itu juga memaparkan bagaimana alokasi anggaran kesehatan berkembang sejak era desentralisasi, berlanjut ke implementasi JKN, hingga tantangan saat pandemi COVID-19 dan kebutuhan adaptasi pada periode pasca-COVID.
Dalam pengantar Seri Pertama Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan, Baha’Uddin, S.S., M.Hum. menekankan pentingnya membaca kebijakan pembiayaan kesehatan melalui perspektif historis. Pak Baha’Uddin menguraikan perjalanan panjang sejak masa kolonial, ketika akses kesehatan terbatas bagi pegawai pemerintah dan tentara, hingga awal kemerdekaan yang masih mengandalkan APBN dengan fokus pada program massal seperti imunisasi dan pemberantasan penyakit menular. Tonggak penting muncul pada 1968 dengan lahirnya BPDPK untuk PNS dan ABRI, yang kemudian berubah menjadi Perum Husada Bhakti (1984), PT Askes (1992), dan akhirnya BPJS Kesehatan (2014) sebagai pelaksana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Setiap fase lahir dari dinamika sosial-ekonomi, termasuk krisis 1997/1998 yang memunculkan JPS-BK bagi masyarakat miskin.
Dalam pengantar ini, narasumber menekankan bahwa sejarah pembiayaan kesehatan di Indonesia merefleksikan evolusi dari sistem yang terfragmentasi menjadi sistem yang lebih inklusif dan terintegrasi. Dari hanya berfokus pada pegawai negeri di awal kemerdekaan, kini sistem pembiayaan kesehatan telah berupaya merangkul seluruh lapisan masyarakat. Meski jalan menuju cakupan kesehatan semesta masih penuh tantangan, proses historis ini menunjukkan komitmen negara dalam menegakkan amanat konstitusi: kesehatan sebagai hak dasar seluruh warga negara. Pak Baha menutup pengantarnya dengan mengingatkan peserta bahwa pembahasan detail lintas periode akan diperdalam oleh narasumber utama. Namun, memahami garis besar perjalanan historis ini menjadi kunci agar setiap analisis kebijakan pembiayaan kesehatan tidak dilepaskan dari konteks sejarah panjang yang melatarbelakanginya.
Dalam paparannya, M. Faozi Kurniawan, S.E., MPH menjelaskan perkembangan kebijakan pembiayaan kesehatan Indonesia dari masa reformasi hingga periode pasca-COVID-19. Pak Faozi memulai dengan menyoroti kondisi ekonomi nasional pasca-1998, ketika PDB meningkat cukup pesat, tetapi penerimaan pajak tidak tumbuh sebanding. Situasi ini menyebabkan keterbatasan ruang fiskal untuk kesehatan sehingga pemerintah harus cermat mengalokasikan anggaran. Menurut beliau, pendanaan adalah blok fundamental dalam sistem kesehatan karena menopang keberlanjutan program lain.
Pada era desentralisasi (1999–2009), berbagai regulasi penting lahir, seperti UU Keuangan Negara (2003), UU Pemda (2004), dan UU SJSN (2004). Sejumlah program jaring pengaman juga diperkenalkan, mulai dari JPS-BK, JPK Gakin, hingga Askeskin dan Jamkesmas. Program-program ini membuka akses kesehatan bagi masyarakat miskin, meskipun pelaksanaannya menghadapi kendala data dan perbedaan kapasitas fiskal antar daerah. Memasuki era JKN (2009–2019), pendirian BPJS Kesehatan menjadi tonggak besar dengan target Universal Health Coverage. Pada tahap awal, integrasi berbagai skema (Jamkesmas, Jamkesda, Askes, Jamsostek) berhasil mencakup lebih dari 140 juta jiwa. Namun, implementasi masih dibayangi defisit keuangan BPJS, ketimpangan layanan antar wilayah, serta beban biaya pribadi masyarakat yang meski menurun, tetap relatif tinggi dibanding negara tetangga.
Pandemi COVID-19 (2020–2022) membawa perubahan signifikan dengan refocusing APBN dan lonjakan anggaran kesehatan. Fokus utama diarahkan pada program vaksinasi, insentif tenaga kesehatan, dan klaim perawatan pasien. Uniknya, pada masa ini BPJS justru mencatat surplus akibat menurunnya pemanfaatan layanan dan meningkatnya kepatuhan iuran. Di era pasca-pandemi, lahir UU Nomor 17 Tahun 2023 yang mengubah istilah pembiayaan menjadi “pendanaan kesehatan”. Transformasi diarahkan pada efisiensi, keadilan, dan kemandirian, termasuk melalui NHA, HTA, serta proyek SISOIN bernilai lebih dari Rp 60 Triliun. Pak Faozi menutup dengan refleksi bahwa meskipun arah kebijakan semakin kuat, tantangan besar tetap ada, yakni memastikan kemandirian pembiayaan di tengah ketergantungan pada pinjaman luar negeri.
Dalam sesi pembahasan, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menekankan bahwa kajian mengenai sejarah kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya dari masa reformasi hingga pasca-COVID-19, masih merupakan sebuah proses yang terus berlangsung. Prof. Laksono menyebutnya sebagai recent history atau sejarah yang masih terjadi, sehingga belum dapat ditarik kesimpulan final. Dalam perspektif historiografi, kondisi ini berarti peristiwa-peristiwa yang sedang berjalan tetap terbuka terhadap perubahan maupun pengulangan pola kebijakan.
Narasumber menyoroti bahwa pandemi COVID-19 menghadirkan fenomena unik dalam pembiayaan kesehatan nasional. Semua biaya perawatan pasien COVID-19 tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan, melainkan dialokasikan dari pos anggaran lain, termasuk pinjaman luar negeri yang disalurkan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menjadi catatan penting dalam sejarah pembiayaan kesehatan Indonesia, sebab memperlihatkan bagaimana mekanisme pendanaan lintas-sektor bekerja ketika menghadapi krisis besar. Menariknya, pada periode pandemi justru terjadi surplus keuangan di BPJS Kesehatan, meskipun sebelumnya lembaga ini kerap mengalami defisit, dan kembali menghadapi defisit setelah pandemi berakhir.
Dalam refleksinya, Prof. Laksono mempertanyakan arah keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan Indonesia. Pihaknya menggarisbawahi beberapa isu penting, antara lain: apakah belanja publik akan terus meningkat untuk kesehatan, sejauh mana kemampuan pemerintah membiayai masyarakat miskin, serta bagaimana prospek peran swasta dan industrialisasi sektor kesehatan. Selain itu, narasumber menyinggung perkembangan instrumen seperti Health Technology Assessment (HTA) yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pembiayaan, meskipun implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk soal siapa yang akhirnya menanggung biaya dan siapa yang mendapatkan manfaat. Sebagai penutup, Prof. Laksono menekankan pentingnya melihat sejarah sebagai alat proyeksi ke depan. Catatan tentang defisit–surplus BPJS, kebijakan fiskal dalam krisis, hingga transformasi kelembagaan pasca-COVID-19 harus dipahami bukan hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi juga sebagai pelajaran untuk merancang sistem pembiayaan kesehatan yang lebih adil, berkelanjutan, dan adaptif terhadap tantangan global maupun domestik.
Reporter:
Galen Sousan Amory, S. Sej.
Reportase
Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 2:
“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”
PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada Agustus hingga Desember 2025. Kali ini webinar mengangkat tema “Produk Kesehatan: Obat dan Alat Kesehatan” yang diselenggarakan pada Jum’at (17/10/2025). Webinar ini menyoroti perkembangan kebijakan produk kesehatan di Indonesia khususnya obat dan alat kesehatan dari era desentralisasi hingga pasca-pandemi COVID-19.
Dalam pengantar seri kedua Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan, Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., yang kali ini berhalangan hadir secara langsung di kampus dan memimpin acara dari jarak jauh. Dalam pengantarnya, Prof. Laksono menyampaikan bahwa tema hari ini “Produk Kesehatan: Obat dan Alat Kesehatan” memiliki arti penting dalam memahami dinamika industri kesehatan nasional. Beliau mengarahkan peserta untuk mengunjungi laman Sejarah Kesehatan Indonesia yang menjadi wadah berbagai tulisan dan dokumentasi sejarah kebijakan kesehatan, hasil kolaborasi antara Departemen Sejarah FIB UGM dan Departemen Kebijakan serta Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM.
Laksono menekankan bahwa catatan dan kajian sejarah bukan sekadar dokumentasi akademik, melainkan dapat menjadi sumber inspirasi dan dasar pertimbangan dalam perumusan kebijakan masa depan. Banyak kebijakan masa lalu yang masih relevan dan dapat diadaptasi untuk memperbaiki sistem kesehatan saat ini. Dalam konteks ini, seri webinar tematik diharapkan menjadi ruang untuk mempertemukan perspektif akademik dan praktis, sehingga sejarah kebijakan tidak berhenti di arsip, tetapi menjadi bagian dari proses pembelajaran kebijakan yang berkelanjutan.
Menutup pengantarnya, Laksono memperkenalkan kedua narasumber, yakni Nila Munana, S.HG, MHPM dan Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil., yang mengulas perkembangan kebijakan obat dan alat kesehatan dari berbagai sudut pandang antara bidang kebijakan kesehatan dan bidang sejarah. Pihaknya berharap diskusi ini dapat memperkaya pemahaman peserta terhadap evolusi kebijakan produk kesehatan di Indonesia serta memunculkan dialog konstruktif lintas disiplin. VIDEO
Dalam paparannya, Nila menjelaskan perkembangan kebijakan obat dan alat kesehatan di Indonesia dari era desentralisasi hingga masa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ia membuka dengan menegaskan bahwa kebijakan produk kesehatan, baik obat maupun alat kesehatan, tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian integral dari transformasi sistem kesehatan nasional yang berlangsung sejak reformasi 1999. Setiap fase pembangunan kesehatan memiliki dinamika tersendiri yang dipengaruhi oleh arah kebijakan publik, kondisi ekonomi, serta kesiapan infrastruktur kesehatan di pusat maupun daerah.
Pada masa desentralisasi (1999–2009), fokus pemerintah tertuju pada upaya meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial. Salah satu langkah penting pada masa itu adalah diterbitkannya Permenkes Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) obat, yang bertujuan menciptakan transparansi harga dan mengendalikan biaya pengobatan bagi masyarakat. Selain itu, hadir pula kebijakan Apotek Rakyat melalui Permenkes Nomor 284/Menkes/PER/III/2007, yang membuka akses pelayanan kefarmasian hingga ke masyarakat luas, terutama di wilayah yang belum terjangkau apotek besar. Namun, apotek rakyat memiliki batasan: tidak diperkenankan meracik obat atau menyimpan narkotika dan psikotropika. Sementara itu, kebijakan alat kesehatan di masa ini menghadapi tantangan serius berupa ketergantungan besar terhadap impor. Industri alat kesehatan dalam negeri masih lemah dan belum memenuhi standar mutu internasional. Situasi ini tampak jelas saat terjadi wabah flu burung pada 2005–2006, di mana Indonesia harus mempercepat pengadaan alat pelindung diri dan peralatan medis yang sebagian besar masih diimpor, seperti ventilator dan X-ray. Kondisi tersebut menggambarkan rapuhnya kemandirian sektor alat kesehatan dalam negeri.
Memasuki era JKN pada 2009–2019, kebijakan obat dan alat kesehatan mulai diarahkan menuju sistem yang lebih terintegrasi. Melalui berbagai regulasi seperti UU SJSN, UU Kesehatan, dan pembentukan BPJS, pemerintah memperkuat mekanisme pembiayaan, pengadaan, dan distribusi produk kesehatan. Penerapan e-catalogue sejak 2014 memungkinkan proses pengadaan yang transparan, efisien, dan berpihak pada produk dalam negeri. Komitmen kemandirian industri nasional semakin ditegaskan lewat Inpres Nomor 6 Tahun 2016 dan Permenkes Nomor 62 Tahun 2017 yang memperkuat aspek riset, produksi, serta pengawasan mutu obat dan alat kesehatan. Meski demikian, Nila menekankan bahwa ketergantungan pada impor bahan baku dan lemahnya sinergi riset masih menjadi tantangan utama. Karena itu, arah kebijakan ke depan perlu difokuskan pada penguatan kemandirian farmasi nasional, digitalisasi logistik kesehatan, dan peningkatan akses masyarakat terhadap produk lokal yang berkualitas.
Dalam sesi pemaparan kajian historis dari Wahid, memberikan ulasan mendalam mengenai dinamika kebijakan obat dan alat kesehatan dalam lintasan sejarah panjang sistem kesehatan Indonesia. Pihaknya membuka pembahasan dengan menjelaskan konteks lahirnya buku Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia dari Reformasi hingga Pasca-COVID-19, sebagai hasil kerja kolaboratif lintas disiplin antara para ahli kebijakan publik, kesehatan masyarakat, ekonomi, hukum, dan sejarah. Buku ini, menurutnya, berfungsi sebagai peta konseptual untuk memahami arah perubahan kebijakan kesehatan sejak 1999 hingga masa pasca-pandemi.
Wahid menjelaskan bahwa kebijakan obat dan alat kesehatan harus dipahami dalam konteks enam blok sistem kesehatan WHO yang saling terhubung, mulai dari pelayanan, tenaga, hingga tata kelola. Dari perspektif historis, ia menyoroti bahwa dominasi sektor swasta dalam penyediaan produk kesehatan sudah berlangsung sejak masa kolonial, ketika layanan kesehatan lebih berorientasi komersial dan memihak kelompok Eropa. Ketimpangan dan ketergantungan pada produk asing yang berakar sejak masa itu masih terasa hingga era reformasi. Meski desentralisasi memberi otonomi bagi daerah, banyak pemerintah daerah belum siap secara fiskal dan kelembagaan, sehingga pengadaan obat dan alat kesehatan kerap tidak sinkron dan menimbulkan ketimpangan akses antar wilayah.
Paparan ini juga menyoroti pandemi COVID-19 sebagai titik balik bagi sistem kesehatan nasional yang menyingkap kelemahan struktural, terutama dalam pengadaan obat, APD, oksigen, dan vaksin. Krisis tersebut memperlihatkan ketergantungan Indonesia pada impor, namun juga memicu percepatan inovasi dan produksi vaksin dalam negeri. Ia menegaskan bahwa masalah ketergantungan ini telah berlangsung sejak masa kolonial, sehingga pandemi seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kedaulatan farmasi nasional melalui riset dan produksi domestik. Menutup paparannya, Wahid menyinggung arah kebijakan pasca-pandemi yang kini ditandai oleh lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Kebijakan tersebut, ujarnya, berfokus pada penguatan industri farmasi dan alat kesehatan nasional melalui peningkatan investasi, riset, dan penggunaan produk dalam negeri. Pemerintah juga berupaya membangun sistem kesehatan yang lebih tangguh dan berkelanjutan dengan mengurangi ketergantungan impor serta meningkatkan akses masyarakat terhadap produk kesehatan yang berkualitas.
Reporter:
Galen Sousan Amory, S. Sej.
Perspektif Sejarah dalam Kebijakan Pendidikan Residen, serta Agenda Setting Pendidikan Residen di UU No. 17 Tahun 2023
Sesi pertama dimoderatori oleh dr. Yoyo Suhoyo dan disampaikan oleh Pak Baha’Uddin S.S., M.Hum. Pak Baha’uddin menjelaskan evolusi pendidikan dokter di Indonesia. Pendidikan dokter di Indonesia mengalami beberapa perubahan, dimulai dengan Sekolah Dokter Jawa, Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (GHS), Djakarta Ika Daigaku, hingga Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK). Pendidikan dokter spesialis di Indonesia mulai muncul di tahun 1960-1970, dan mulai berkembang dengan munculnya berbagai regulasi mulai dari UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran hingga UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Namun, Pak Baha’uddin menggarisbawahi bahwa permasalahan pendidikan dokter residen di Indonesia dari masa kolonial hingga saat ini masih sama, yaitu terkait dengan kualitas pendidikan dan pemerataan di seluruh wilayah.
Selanjutnya adalah penyampaian sesi pertama mengenai “Pendidikan Residen berbasis Kompetensi di Berbagai Negara” yang disampaikan oleh Prof. dr. Titi Savitri, MA, M.Med.Ed, PhD. Prof Titi menjelaskan kurikulum pendidikan residen di negara-negara maju, seperti Amerika, Kanada dan Inggris. Peserta didik program spesialis di Amerika diwajibkan untuk lulus dalam beberapa domain kompetensi sebelum diperbolehkan untuk menerapkan tindakan klinis tanpa supervisi. Di Inggris, peserta didik program spesialis juga didasarkan pada kompetensi, bukan pada jangka waktu pendidikan.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD sebagai pembahas menjelaskan dan menanggapi mengenai masalah yang masih terjadi pada program pendidikan dokter spesialis di Indonesia, salah satunya adalah status hukum dan stigma residen di Indonesia sebagai peserta didik. Beliau menekankan pentingnya sebuah kolaborasi antara peneliti di bidang pendidikan kedokteran, kebijakan dan sejarah untuk menciptakan sebuah penelitian agar dapat menjadi dasar yang kuat untuk pengambilan keputusan mengenai pendidikan residen di Indonesia.
Arah Kebijakan Pendidikan Residen di Indonesia
Sesi kedua disampaikan oleh Anna Kurniati, S.KM., M.A., PhD selaku Direktur Penyediaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Prof. Dr. dr. Med. Tri Hanggono Achmad, selaku Direktur Jenderal Kementerian Riset dan Teknologi Dikti. Bu Anna menjelaskan bahwa Indonesia masih mengalami defisit sekitar 70.000 dokter spesialis. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, perlu dicetak sekitar 16.000 hingga 49.000 dokter spesialis per tahun. Menanggapi hal tersebut, Kemenkes dan Kemenristekdikti berkolaborasi untuk mempercepat pemenuhan dokter spesialis, dengan menambah jalur masuk pendidikan residen melalui RSPPU dan menyediakan beasiswa serta tunjangan khusus bagi dokter spesialis yang bersedia ditempatkan di wilayah DTPK.
Prof Tri kemudian menambahkan bahwa kolaborasi dengan berbagai sektor merupakan hal penting karena kesehatan adalah masalah yang kompleks. Mengidentifikasi defisiensi spesialis sebagai masalah utama dalam Sistem Kesehatan Akademik (SKA), Kemenristekdikti membentuk satuan tugas dengan tiga strategi quick win: membuka program studi baru dengan peningkatan kuota, menempatkan residen senior pada Rumah Sakit Pendidikan Prioritas, dan memperkuat kemitraan lintas sektor.
Sesi diskusi diwarnai dengan berbagai pandangan dan pertanyaan peserta, seperti terkait regulasi pendanaan dalam rangka pemerataan residen ke daerah DPTK dan ketimpangan biaya pendidikan residen di Perguruan Tinggi Swasta dan Perguruan Tinggi Negeri. Kedua narasumber menekankan bahwa penempatan dan pendanaan sudah ditetapkan sejak awal peserta didik diterima dalam program pendidikan dokter spesialis. Bagi peserta didik yang menerima beasiswa, penetapan lokus juga sudah dilakukan di awal. Kolaborasi antara Kementerian, PTS dan PTN juga diperlukan untuk melihat struktur pendanaan program dan mengidentifikasi ketidaksesuaian. Prof Tri kemudian menambahkan, bahwa pendidikan residen merupakan suatu hal yang spesial, karena sejak awal penerimaan peserta didik, sudah ada integrasi dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk menutup kekosongan sumber daya manusia.
Penelitian Eksplorasi mengenai Kebutuhan Residen di Rumah Sakit Tentara
Sebelum memasuki inti di sesi ketiga, Prof Laksono memberikan pengantar mengenai sebuah penelitian tentang Beban Kerja Ideal di lingkup Rumah Sakit Tentara dan bagaimana kebutuhan residen diperlukan di sebuah Rumah Sakit Tentara. Penelitian ini dilakukan oleh Dr. dr. Khairan Irmansyah, Sp. THT-KL., M.Kes yang merupakan seorang dokter spesialis THT-KL di Rumah Sakit Tentara. Berdasarkan hasil penelitian beban kerja, ditemukan bahwa ada beban kerja yang berlebih pada dokter spesialis tertentu. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dokter spesialis, yang juga menyebabkan dokter umum juga sering menghadapi dan terdesak untuk mengatasi situasi di luar kompetensinya. Hal ini menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan antara SDM dengan beban kerja. Selama ini, Rumah Sakit Tentara merasa terbantu dengan dokter internship, sehingga dokter residen bisa menjadi solusi sementara untuk mengatasi keterbatasan dokter spesialis asal tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Diskusi pada sesi ini lebih lanjut menjelaskan mengenai rencana jangka menengah untuk menyeimbangkan beban kerja antara profesi medis di RST tanpa mengganggu kesinambungan pelayanan. Strategi yang dilakukan adalah merekrut, meski terbatas karena struktur organisasi yang rigid. Strategi selanjutnya adalah mengintegrasikan residen ke dalam pelayanan kesehatan, khususnya untuk daerah terluar.
Visi mengenai Status dan Kesejahteraan Residen dalam Sistem Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia
Disampaikan oleh Dr. dr. Slamet Riyadi Nuwono, DTM&H., MARS., M.Kes. Sesi ini diawali dengan pengantar oleh Prof. Laksono, dimana beliau menekankan bahwa status dan insentif residen di Indonesia menjadi perbedaan yang sangat mencolok dengan negara lain. Beliau menjelaskan perbedaan antara Rumah Sakit Pelayanan Non-Pendidikan dan Pendidikan. Rumah Sakit Pendidikan menekankan pada kolaborasi antara pelayanan, edukasi dan penelitian yang dijalankan oleh SDM Rumah Sakit, Fakultas dan residen. Status residen harus secara jelas ditegakkan sebagai pegawai, agar dapat menerima insentif tanpa ada masalah. Bantuan pendanaan residen dapat berasal dari tiga sumber, yaitu APBN, APBD dan penyelenggara pendidikan. PP No. 28 Tahun 2024 juga telah menekankan bahwa peserta didik residen adalah pegawai pada Fasyankes atau RSPPU yang berhak menerima imbalan jasa dan insentif. Lebih lanjut perlu ada koordinasi lintas kementerian yang mengurus keuangan negara mengenai pendayagunaan peserta didik.
Diskusi di sesi ini lebih lanjut membahas mengenai model tata kelola yang ideal bagi rumah sakit pendidikan agar tetap akuntabel terhadap standar akademik sekaligus efisien dalam menjalankan fungsi pelayanan kesehatan. Masalah yang terjadi saat ini adalah adanya tumpang tindih akreditasi dalam keberjalanan rumah sakit pendidikan, beliau menyarankan sebaiknya standar itu dileburkan menjadi satu, secara khusus untuk rumah sakit pendidikan. Tantangannya saat ini adalah stigma mengenai rumah sakit pendidikan, sehingga harus menggeser stigma tersebut menjadi “the best hospital is teaching hospital.”
Reporter:
Maharani Pyrusha Leilani Putri (HPM UGM)
Visi mengenai Pendidikan Residen dalam Sistem Kesehatan Akademik
Sesi dibuka dengan paparan dari dr. Haryo Bismantara, MPH, yang menyoroti pentingnya sinkronisasi lintas sektor dalam penguatan sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa visi pengembangan Sistem Kesehatan Akademik (SKA) diarahkan untuk menyinergikan antara produksi, distribusi, retensi, dan inovasi SDM kesehatan, agar kebijakan pendidikan residen tidak berdiri terpisah dari kebutuhan layanan kesehatan di daerah.
Menurutnya, tujuan utama SKA adalah untuk memastikan kualitas layanan dan pemenuhan kebutuhan tenaga medis dan tenaga kesehatan sesuai kondisi wilayah. Dengan model ini, SKA dapat berperan sebagai strategi pemerataan dokter dan dokter spesialis di Indonesia melalui integrasi antara universitas, rumah sakit pendidikan, dan pemerintah daerah.
Sesi Diskusi
Dalam sesi tanya jawab, peserta mengangkat isu sinkronisasi lintas kementerian dalam pemenuhan tenaga dokter spesialis. Salah satu penanya menyoroti pentingnya kesinambungan antara aspek produksi (pendidikan), distribusi (penempatan), dan retensi (keberlanjutan karier) yang membentuk siklus SDM kesehatan. Ia mempertanyakan bagaimana sinkronisasi ini dapat dioperasionalkan secara berkelanjutan tanpa tumpang tindih kewenangan antara Kemenkes dan Kemdiktisaintek.
Menanggapi hal ini, dr. Haryo menyarankan bahwa komite bersama yang telah dibuat di tingkat nasional harus melibatkan berbagai kementerian — tidak hanya Kemenkes dan Kemdiktisaintek, tetapi juga Kementerian Dalam Negeri, KemenPAN-RB, dan Kemenko PMK — guna mengharmonisasikan kebijakan lintas sektor.
Ia menambahkan bahwa untuk memperkuat pelaksanaan di daerah, perlu dilakukan penyesuaian dalam rencana strategis (Renstra) setiap institusi, baik di sektor pendidikan maupun kesehatan, disertai dengan instrumen ceklist implementasi agar pelaksanaan kebijakan sejalan dengan tujuan nasional. “Inilah pentingnya riset implementasi” tegasnya, “karena riset bisa memantau kesesuaian antara rancangan kebijakan dan pelaksanaannya di lapangan”
Pertanyaan lain datang dari peserta yang menyoroti fungsi SKA di wilayah yang telah jenuh atau saturasi dengan tenaga dokter spesialis. dr. Haryo menanggapi bahwa daerah seperti ini dapat mengalihkan fungsi AHS untuk pengembangan layanan, pendidikan lanjutan, atau pemahiran tenaga medis di bidang lain. Ia menegaskan bahwa setiap wilayah perlu diarahkan untuk mandiri dalam memproduksi dan mengelola tenaga kesehatannya, sehingga sistem menjadi adaptif terhadap kebutuhan lokal.
Sesi ditutup dengan refleksi moderator yang menekankan pentingnya sinkronisasi kebijakan pendidikan residen dengan sistem kesehatan akademik secara menyeluruh. Kolaborasi lintas kementerian, lembaga pendidikan, dan pemerintah daerah diharapkan dapat mempercepat pemerataan dokter spesialis dan memperkuat kapasitas daerah dalam memenuhi kebutuhan layanan kesehatan.
Penelitian Kebijakan terkait Kolegium Jantung pasca UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Sesi ini menghadirkan Dwi Asih Kartika Ningrum, SKM., M.HPM., yang membahas hasil penelitiannya yang berjudul “Penelitian Kebijakan terkait Kolegium Jantung dalam penyediaan spesialis pasca UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan”.
Paparan menegaskan pentingnya keseimbangan antara akuntabilitas negara dan otonomi akademik profesi agar mutu pendidikan spesialis terjaga tanpa mengurangi kemandirian kolegium. Pemerintah diposisikan sebagai mitra teknokratis, sementara Konsil mempertahankan independensi dalam relasi dengan pemerintah dan kolegium.
Dalam konteks penyediaan dokter spesialis melalui fellowship, Dwi Asih menekankan perlunya petunjuk teknis pembukaan RS penyelenggara fellowship serta kendali mutu lulusan yang terstandar. Transformasi menuju state-led regulation membawa perubahan besar pada tata kelola profesi, terutama menyangkut status akademik dan skema fellowship. Namun hambatan masih muncul berupa fragmentasi regulasi dan tumpang tindih kewenangan. Meskipun, sejumlah aktor telah menunjukkan kepemimpinan kolaboratif yang konstruktif.
Dwi Asih juga menyoroti kapasitas kelembagaan daerah sebagai faktor penentu implementasi. RS vertikal relatif unggul dari sisi dukungan fasilitas dan akuntabilitas, sedangkan banyak RSUD bergantung pada kemampuan fiskal pemda dan kerap terkendala variatif caseload untuk memenuhi kebutuhan pelatihan klinik.
Sebagai penutup, Dwi Asih menegaskan bahwa tantangan utama pendidikan spesialis saat ini meliputi fragmentasi regulasi, tata kelola yang timpang, dan ketidakpastian pembiayaan. Namun terdapat peluang besar melalui momentum reformasi, kepemimpinan kolektif, dan kolaborasi multipihak yang lebih terstruktur. Dalam konteks layanan jantung intervensi, Prof. Laksono juga menyoroti pentingnya penerapan skema pembiayaan inovatif seperti i-DRG dan global budget agar efisiensi dapat dicapai tanpa mengorbankan akses layanan.
Riset Implementasi terkait Kebijakan Residen di UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Sesi selanjutnya adalah pemaparan “Riset Proposal Implementasi terkait Kebijakan Residen di UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan” yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD. Pada sesi ini, Prof Laksono memaparkan kerangka riset implementasi yang akan berlangsung selama satu bulan, dengan tujuan menilai pelaksanaan awal kebijakan pendidikan residen pasca terbitnya UU No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024, memberikan rekomendasi perbaikan, mendokumentasikan proses transformasi pendidikan residen, serta memvalidasi checklist kesiapan RSPPU. Prof. Laksono juga membandingkan sistem residensi di berbagai negara dan menyoroti bahwa hanya Indonesia yang masih mengklasifikasikan residen sebagai pelajar, bukan pekerja. Beliau menekankan pentingnya perubahan paradigma agar residen diperlakukan sebagai pegawai profesional dengan kontrak kerja yang jelas antara kedua pihak.
Narasumber selanjutnya, dr. Arvianto Rahmat Nugroho menjelaskan pengembangan riset implementasi kebijakan pendidikan residen. Ia dan tim menggunakan pendekatan Explanatory Mixed Method melalui survei checklist, FGD, dan wawancara kualitatif, dengan tujuan menghasilkan instrumen evaluatif yang dapat digunakan untuk scale-up implementasi di rumah sakit pendidikan dan fakultas kedokteran baru. Instrumen checklist tersebut disusun berdasarkan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, PP No. 28 Tahun 2024, dan pasal-pasal turunan terkait.
Sesi diskusi
Dalam sesi diskusi, muncul pertanyaan mengenai sumber pendanaan dan besaran insentif bagi residen di tengah kebijakan efisiensi. Prof. Laksono menjelaskan bahwa di beberapa negara, insentif residen bersumber dari sistem UHC atau pemerintah daerah, dan menegaskan bahwa residen harus diperlakukan sebagai pegawai dengan kontrak dan jam kerja resmi. dr. Haryo menambahkan bahwa insentif idealnya tidak bergantung pada satu sumber dana, melainkan dapat berasal dari BPJS, APBD, maupun jasa pelayanan. Perwakilan dari RS Ortopedi Soeroyo menekankan pentingnya kontrak kerja bagi residen dan mengusulkan standar gaji awal setara UMR Jakarta dengan kenaikan berdasarkan keahlian dan masa pendidikan, disertai perhatian pada fasilitas belajar, batas waktu kerja, pendampingan psikologis, dan dukungan teknologi pengajaran.
Wrap Up dan Penutupan Topik B
Kegiatan ditutup dengan sesi wrap up oleh Prof. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD., yang merangkum benang merah dari seluruh rangkaian diskusi pada Topik B Forum Nasional XV JKKI. Dalam refleksinya, Prof. Laksono menegaskan bahwa isu perubahan pendidikan dokter residen merupakan agenda besar yang berpotensi mengubah sistem pendidikan spesialis di Indonesia secara menyeluruh. Transformasi ini, ujarnya, akan mengarah pada pendekatan berbasis kompetensi (competency-based education). Ia mengingatkan bahwa perubahan besar ini memerlukan koordinasi lintas sektor dan dukungan kebijakan pemerintah yang serius, mengingat skala transformasi yang diatur melalui Undang-Undang Kesehatan 2023.
Maka dari itu, Ia juga menekankan pentingnya riset implementasi yang akan dikembangkan lebih lanjut, termasuk penyusunan checklist untuk menilai kesiapan rumah sakit pendidikan dalam mengadopsi perubahan kebijakan. Menutup sesi, beliau mendorong dan terbuka untuk kolaborasi lebih luas antara berbagai program studi dan universitas dalam memperkuat penelitian serta penyempurnaan proposal riset implementasi pendidikan residen ke depan.
“Jangan berhenti di sini. Mari kita lanjutkan bersama, memperbaiki dan memperkuat pendidikan residen agar sejalan dengan arah reformasi sistem kesehatan nasional”

Reporter:
Nida Fauziah Sudrajat (HPM UGM)
Reportase
Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 4:
“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”
PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada Agustus hingga November 2025. Kali ini webinar mengangkat tema “Pelayanan Kesehatan” yang diselenggarakan pada Selasa (11/11/2025). Webinar ini menyoroti berbagai dinamika dan kebijakan dalam pelayanan kesehatan Indonesia sejak era reformasi hingga masa pasca-pandemi COVID-19. Melalui paparan para pembicara, kegiatan ini mengulas bagaimana desentralisasi, jaminan kesehatan nasional, dan transformasi sistem kesehatan berperan dalam membentuk arah pelayanan kesehatan yang lebih merata dan berkeadilan sosial.
Dalam pengantar seri ini, Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., dalam pengantarnya, Prof. Laksono menekankan pentingnya meninjau perjalanan historis kebijakan pelayanan kesehatan Indonesia sejak era desentralisasi awal 2000-an hingga reformasi kebijakan terkini. Pihaknya menjelaskan bahwa desentralisasi membawa perubahan besar terhadap peran dan fungsi pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, menciptakan dinamika baru dalam tata kelola sektor ini. Prof. Laksono mengajak peserta untuk melihat proses historis transformasi tersebut sebagai catatan penting bagi pengembangan kebijakan masa depan. Prof Laksono menegaskan pentingnya dokumentasi dan kajian sejarah seperti webinar ini sebagai sumber pembelajaran publik. Mengutip sejarawan Stephen Ambrose, “melihat masa lalu adalah sumber pengetahuan, dan masa depan adalah sumber harapan,” menandakan bahwa studi sejarah kebijakan kesehatan bersifat reflektif dan prospektif. Sebagai penutup, pihaknya menyampaikan apresiasi kepada para narasumber, Iztihadun Nisa, SKM., MPH., dan Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil yang mewakili kolaborasi lintas disiplin antara Departemen Sejarah FIB dan Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM, dalam upaya menelusuri dan menuliskan sejarah kebijakan kesehatan Indonesia. VIDEO
Dalam paparannya, Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil. menjelaskan perjalanan kebijakan pelayanan kesehatan Indonesia selama dua dekade, dari masa desentralisasi (1999–2009) hingga lahirnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN, 2009–2019). Pemaparannya merujuk pada hasil penelitian lintas disiplin yang terangkum dalam buku Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia: Dari Desentralisasi hingga Pasca COVID-19, kolaborasi antara FKKMK dan FIB UGM dengan dukungan Kementerian Kesehatan RI. Dr. Wahid menegaskan bahwa kebijakan kesehatan perlu dipahami secara luas, mencakup keputusan publik dan swasta yang mempengaruhi sistem kesehatan nasional. Dr Wahid menggunakan kerangka six building blocks WHO seperti pelayanan, tenaga, informasi, teknologi dan produk, pembiayaan, serta tata kelola sebagai dasar analisis keterpaduan sistem kesehatan. Pada periode pertama (1999–2009), desentralisasi menjadi titik balik penting dalam tata kelola kesehatan. Pemerintah pusat melimpahkan kewenangan kepada daerah untuk mempercepat pengambilan keputusan dan memperluas layanan. Namun, penelitian menunjukkan banyak daerah belum siap, sehingga muncul ketimpangan antar wilayah, lemahnya koordinasi, dan keterbatasan sumber daya manusia. Meski demikian, lahir sejumlah kebijakan kunci seperti Gerakan Nasional Kehamilan Aman, Program perbaikan gizi dan pencegahan stunting, Pekan Imunisasi Nasional, serta Paradigma Sehat dan Visi Indonesia Sehat 2010. Pembentukan BNPB (2008) juga menjadi tonggak kesiapsiagaan bencana di sektor kesehatan.
Memasuki periode kedua (2009–2019), arah kebijakan bergeser pada penguatan sistem JKN dan perluasan akses layanan. Pemerintah mendorong kolaborasi fasilitas kesehatan dengan BPJS, membuka investasi swasta, serta memperkuat mutu dan keselamatan pasien melalui standar internasional seperti JCI. Layanan primer dan berbasis keluarga diperluas melalui Program Indonesia Sehat, disertai perhatian pada layanan paliatif, kesehatan jiwa (Program Indonesia Bebas Pasung 2012), serta pengembangan pengobatan tradisional dan wisata kesehatan. Kendati berbagai reformasi dilakukan, Dr. Wahid menilai sistem kesehatan Indonesia masih menghadapi tantangan struktural: ketimpangan distribusi tenaga kesehatan, tumpang tindih kewenangan pusat-daerah, dan kesiapan kelembagaan rumah sakit yang belum merata dimana kondisi yang kian tampak saat pandemi COVID-19. Beliau menutup dengan refleksi bahwa dua dekade reformasi kesehatan menunjukkan kemajuan penting, namun belum sepenuhnya menjawab persoalan dasar tata kelola dan pemerataan layanan. Karena itu, memahami dinamika 1999–2019 menjadi pijakan penting bagi transformasi kebijakan kesehatan yang lebih berkelanjutan ke depan.
Paparan berikutnya dilanjutkan oleh Iztihadun Nisa, SKM., MPH. yang membahas fase penting dalam sejarah kebijakan kesehatan Indonesia, yaitu masa pandemi COVID-19 dan transformasi sistem kesehatan pasca-pandemi. beliau menjelaskan bagaimana krisis global tersebut menjadi momentum penting untuk mereformasi tata kelola pelayanan kesehatan nasional secara menyeluruh. Sebagai dasar analisis, Atun menegaskan bahwa penulisan sejarah kebijakan ini berangkat dari amandemen UUD 1945 serta berbagai peraturan kesehatan di tingkat pusat dan daerah. beliau mengingatkan bahwa pandemi bukan peristiwa baru dalam sejarah, melainkan pola berulang yang pernah terjadi seperti pada wabah flu burung. Dari perspektif sejarah, pandemi menjadi cermin rapuhnya sistem kesehatan sekaligus pemicu perubahan struktural yang besar.
Dalam konteks pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia menetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang kedaruratan kesehatan masyarakat dan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 yang menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional. Kebijakan ini disertai pembentukan Gugus Tugas COVID-19, yang melibatkan lintas sektor, bukan hanya bidang kesehatan, melainkan juga keamanan, pemerintahan, dan sosial yang menjadi model awal kolaborasi multisektor yang kuat. Masa pandemi menunjukkan kerentanan sarana dan prasarana kesehatan nasional, ditandai keterbatasan alat, ruang isolasi, dan sumber daya manusia. Pemerintah kemudian menerapkan strategi adaptif melalui kebijakan “3T” (Testing, Tracing, Treatment) berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Keputusan Menkes Nomor 107 Tahun 2020. Program ini dijalankan secara kolaboratif oleh berbagai instansi, termasuk TNI, Polri, dan pemerintah daerah.
Memasuki fase transformasi sistem kesehatan pasca-pandemi, Kementerian Kesehatan meluncurkan enam pilar transformasi kesehatan, dengan fokus utama pada pelayanan primer dan rujukan. Pada pilar pertama, transformasi pelayanan primer diarahkan untuk memperkuat screening kesehatan di tingkat masyarakat melalui modernisasi alat di Puskesmas dan Posyandu, revitalisasi fasilitas, digitalisasi pencatatan, serta perluasan imunisasi (termasuk vaksin HPV, PCV, dan Rotavirus). Program ini sejalan dengan visi “Life long and life well,” yang menekankan peningkatan kesehatan fisik dan mental sepanjang siklus hidup. Pada pilar kedua, transformasi layanan rujukan dilakukan dengan membagi rumah sakit ke dalam tiga tingkat (madya, utama, dan paripurna), memperluas fasilitas seperti MRI, CAT Lab, dan PET Scan, serta meningkatkan layanan untuk penyakit prioritas seperti kanker, jantung, stroke, dan urologi. Pemerintah juga menegakkan standar mutu ruang rawat inap nasional (Perpres Nomor 59 Tahun 2024) dan memperkuat kolaborasi internasional rumah sakit. Kebijakan Hospital-Based Education diatur untuk menjadikan rumah sakit pendidikan sebagai pusat utama pelatihan tenaga medis, sementara UU Nomor 17 Tahun 2023 memberi dasar hukum baru bagi transplantasi organ dan kolaborasi rumah sakit pemerintah-swasta. Dalam era pasca-pandemi, kebijakan diperkuat melalui UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 (Omnibus Law Kesehatan). Fokus utamanya meliputi: integrasi layanan primer berbasis siklus hidup, penguatan medical wellness dan kesehatan paliatif, serta penegakan mutu dan akreditasi. Layanan pengobatan tradisional juga dilembagakan dengan pengawasan ketat untuk menjamin keamanan dan manfaatnya.
Sebagai penutup, Atun menegaskan bahwa pandemi COVID-19 menjadi titik balik yang mengungkap lemahnya fondasi dan koordinasi sistem kesehatan nasional. Dari krisis tersebut, Kementerian Kesehatan mengambil langkah besar melalui Transformasi Kesehatan 6 Pilar, sebagai bentuk perbaikan menyeluruh pasca stagnasi panjang sejak era desentralisasi. Menurutnya, terbitnya UU Kesehatan 2023 menandai era baru dalam reformasi sistem kesehatan Indonesia, dengan tujuan mengharmonisasi regulasi dan memperkuat peran pemerintah sebagai regulator utama untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih tangguh, inklusif, dan berkeadilan.
Informasi selengkapnya:
https://sejarahkesehatan.net/seri-webinar-tematik-sejarah-kebijakan-kesehatan/
Rekaman kegiatan:
https://www.youtube.com/live/Fkq0d_zj9WU?si=9pdsV8LlwrZTzsOp
Reporter:
Galen Sousan Amory, S. Sej.
SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera
SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
Reportase
Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 5:
“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”
PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Tematik: Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada September hingga Desember 2025. Kali ini webinar mengangkat tema “Informatika Kesehatan” yang diselenggarakan pada Jum’at (21/11/2025). Webinar ini menyoroti perjalanan historis, kondisi terkini, dan arah masa depan Sistem Informasi Kesehatan Indonesia, mulai dari fase sentralistik, fragmentasi akibat desentralisasi, konsolidasi di era JKN, hingga transformasi digital melalui SatuSehat, regulasi baru, interoperabilitas, keamanan data, peran DTO, dan roadmap digital health 2025–2029, dalam satu alur yang menekankan tantangan, kebutuhan integrasi, dan visi sistem kesehatan digital nasional.
Dalam pengantar pertama disampaikan oleh Dr. Abdul Wahid, M.Hum., M.Phil. yang menjelaskan pentingnya memahami perjalanan panjang perubahan sistem kesehatan nasional. Dr. Wahid menjelaskan bahwa seri ini merupakan bagian dari kolaborasi PKMK UGM dan Departemen Sejarah UGM yang berupaya merekam perkembangan kesehatan Indonesia selama kurang lebih 25 tahun sejak masa reformasi. Melalui pendekatan historis, kajian ini menggunakan kerangka six building blocks WHO—yang mencakup layanan kesehatan, tenaga kesehatan, informasi kesehatan, obat dan teknologi, pembiayaan, serta tata kelola untuk melihat bagaimana masing-masing komponen berkembang dan saling mempengaruhi.
Dr. Wahid menggarisbawahi empat periode penting perjalanan transformasi kesehatan: fase awal reformasi dan desentralisasi pada 1999–2009 yang ditandai oleh munculnya digitalisasi dan perubahan manajemen informasi; periode 2009–2019 yang bertepatan dengan implementasi JKN dan diterbitkannya berbagai regulasi untuk memperkuat sistem kesehatan nasional; fase pandemi COVID-19 ketika pemerintah mempercepat inovasi digital seperti aplikasi pelacakan, sistem data COVID-19, hingga percepatan rekam medis elektronik; serta periode terbaru pascapengesahan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur integrasi Sistem Informasi Kesehatan Nasional, meski implementasinya masih berlangsung dan terus berkembang. Beliau menekankan bahwa seluruh proses ini merupakan bagian dari “history in the making” transformasi yang belum selesai dan masih berjalan.
Pengantar disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. yang menekankan bahwa pembahasan kali ini menjadi penting karena menyangkut perkembangan historis kebijakan teknologi informasi kesehatan di Indonesia. Prof Laksono menjelaskan bahwa pembangunan sistem kesehatan selalu melalui tahapan-tahapan yang dipengaruhi dinamika global, termasuk kemajuan pesat teknologi informasi dalam beberapa tahun terakhir. Mengutip pemikiran sejarawan Stephen Abramson, Prof. Laksono menegaskan bahwa masa lalu penuh informasi yang dapat dijadikan pelajaran, sementara masa depan adalah ruang harapan yang perlu diarahkan dengan visi yang jelas.
Menurutnya, refleksi atas sejarah IT kesehatan menjadi kunci untuk memahami apa yang dapat dipelajari dari masa lalu serta apa yang ingin dicapai ke depan. Pihaknya menyampaikan harapan bahwa sistem IT kesehatan Indonesia dapat segera menyamai perkembangan global, terutama dalam memperkuat manajemen kesehatan, pelayanan di rumah sakit dan puskesmas, pengambilan kebijakan, hingga integrasi data yang lebih mapan. Namun ia juga mempertanyakan apakah Indonesia dapat melakukan “lompatan” teknologi, mengingat kesiapan infrastruktur dan ekosistem IT masih beragam. Prof. Laksono menutup dengan menyoroti pentingnya mempelajari kebijakan publik di bidang IT kesehatan, termasuk regulasi yang bersifat sandbox sebagai ruang uji coba. Pihaknya menegaskan bahwa apa yang dikerjakan para pelaku IT kesehatan hari ini akan menjadi bagian dari sejarah yang kelak dinilai keberhasilannya dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang, apakah harapan masa depan itu tercapai atau justru gagal. Video
Dalam paparannya, Anis Fuad, S.Ked, DEA dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan UGM menguraikan perjalanan panjang Sistem Informasi Kesehatan (SIK) Indonesia yang berkembang dalam tiga fase besar: era pra-1999 yang masih sentralistik dan manual, era desentralisasi 1999–2008 yang ditandai fragmentasi ribuan aplikasi daerah dan lahirnya UU ITE, serta periode 2009–2019 ketika JKN mendorong konsolidasi regulasi dan meningkatnya adopsi SIMRS serta rekam medis elektronik. Ia menegaskan bahwa evolusi SIK tidak lahir dalam ruang kosong, melainkan dibentuk oleh dinamika politik, birokrasi, teknologi, dan perilaku pengguna yang akhirnya membentuk arsitektur data yang dipakai hari ini.
Memasuki era pandemi dan pasca-pandemi, Anis menjelaskan bahwa kebutuhan integrasi data kesehatan menjadi semakin mendesak menyusul lonjakan penggunaan layanan digital, telemedicine, dashboard nasional, hingga sistem-sistem baru seperti SATUSEHAT. Meski integrasi mulai terbentuk melalui EMR wajib, NIK sebagai single identity, hingga koneksi real-time ke berbagai fasilitas kesehatan, kualitas data, interoperabilitas, keamanan, dan konsistensi antar fasilitas masih menjadi tantangan besar. Anis juga menyoroti berkembangnya ekosistem aplikasi SIMRS berbagai vendor, aplikasi vertikal Kemenkes, sistem BPJS, hingga layanan telemedicine yang meski tumbuh pesat, belum sepenuhnya “berbicara dalam bahasa yang sama”.
Untuk masa mendatang, Anis menekankan arah baru transformasi digital kesehatan melalui payung hukum UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, PP Nomor 28 Tahun 2024, serta kerangka Digital Health Transformation Strategy (DHTS) 2.0 yang akan mengatur interoperabilitas nasional berbasis HL7 FHIR, tata kelola data kesehatan, RME wajib, telemedicine terintegrasi, hingga pengembangan ekosistem AI. Dengan target 60 ribu fasilitas kesehatan terhubung SATUSEHAT serta penguatan talenta digital melalui Digital Transformation Office, beliau menutup dengan pesan bahwa transformasi digital tidak cukup berhenti pada blueprint: keberhasilan tergantung pada komitmen lintas level, kolaborasi antar lembaga, dan kemampuan menjaga keberlanjutan sistem di lapangan.
Reporter:
Galen Sousan Amory, S. Sej.
SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera
SDG 9: Industri, Inovasi dan Infrastruktur
SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”
PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Tematik: Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada September hingga Desember mendatang. Kali ini webinar mengangkat tema “Informatika Kesehatan” yang diselenggarakan pada Kamis (18/12/2025). Webinar ini membahas perjalanan historis dan transformasi manajemen bencana kesehatan di Indonesia, dari pendekatan respons darurat menuju sistem kesiapsiagaan dan ketahanan kesehatan yang lebih terstruktur, partisipatif, dan berkelanjutan, dengan refleksi atas pengalaman bencana besar hingga konteks tantangan kebencanaan mutakhir.
Dalam pengantar yang disampaikan Baha’Uddin, S.S., M.Hum mengulas evolusi kebencanaan di Indonesia dari masa kolonial hingga era reformasi dengan menekankan perubahan paradigma negara dalam memandang bencana. Baha menjelaskan bahwa pada masa kolonial, kebijakan kebencanaan bersifat reaktif dan kolonial-sentris, berorientasi pada perlindungan kepentingan pemerintah Belanda dan warga Eropa, sementara masyarakat pribumi berada di posisi marginal. Memasuki masa awal kemerdekaan, khususnya pada periode pemerintahan Soekarno, bencana mulai dipahami sebagai bagian dari perjuangan nasional dan tanggung jawab negara, meskipun keterbatasan sumber daya akibat perang dan diplomasi kemerdekaan membuat penanganannya masih bersifat sporadis.
Lebih lanjut, Baha memaparkan bahwa pada masa Orde Baru, kebencanaan dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan ekonomi sehingga ditangani secara lebih terpusat, teknokratis, dan melibatkan militer sebagai aktor utama, terutama dalam respons darurat dan distribusi logistik. Perubahan signifikan baru terjadi pada era reformasi, ketika pendekatan kebencanaan bergeser ke arah tata kelola yang lebih inklusif dan berorientasi pada pengurangan risiko, ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana serta pembentukan BNPB dan BPBD di daerah. Dalam kerangka ini, bencana tidak lagi dilihat semata sebagai musibah, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran bersama yang melibatkan negara, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan, meskipun tantangan implementasi dan keterbatasan anggaran masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini.
Dalam paparan materi yang disampaikan oleh Madelina Ariani, SKM., MPH, menjelaskan bagaimana sejarah kebencanaan dan kebijakan kesehatan di Indonesia berkelindan membentuk perkembangan manajemen bencana kesehatan, terutama sejak era reformasi hingga pasca pandemi COVID-19. Madelina menekankan bahwa bencana tidak semata dapat dipahami sebagai deretan angka dan statistik, melainkan sebagai pengalaman hidup yang dialami langsung oleh masyarakat dan tenaga kesehatan, sehingga sektor kesehatan selalu berada di garis depan setiap peristiwa bencana.
Lebih jauh, Madelina menguraikan bahwa tingginya risiko kebencanaan Indonesia yang dipengaruhi oleh kondisi geografis, perubahan iklim, kepadatan penduduk, serta kebijakan pembangunan menjadikan kesiapsiagaan sebagai kebutuhan mendasar, bukan pilihan. Melalui refleksi atas berbagai peristiwa besar, mulai dari tsunami Aceh 2004, rangkaian bencana pada 2018, hingga pengalaman krisis berlapis saat pandemi COVID-19, pihaknya menunjukkan bahwa pendekatan manajemen bencana kesehatan di Indonesia telah berevolusi dari fokus respons darurat menuju pembangunan sistem yang lebih sistematis, terintegrasi, dan berorientasi pada pengurangan risiko.
Dalam konteks kebijakan, Madelina menyoroti penguatan kerangka regulasi dan kelembagaan pasca reformasi, termasuk lahirnya berbagai undang-undang, peraturan, serta pedoman nasional yang mendorong kesiapsiagaan fasilitas kesehatan, pembentukan Health Emergency Operation Center dan Emergency Medical Team, serta integrasi bencana kesehatan ke dalam transformasi sistem kesehatan nasional. Narasumber menegaskan bahwa meskipun kapasitas sistem kini relatif lebih kuat, tantangan terbesar ke depan adalah memastikan partisipasi aktif masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan, agar manajemen bencana kesehatan benar-benar menjadi bagian integral dari ketahanan sistem kesehatan Indonesia.
Dalam sesi pembahasan, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menanggapi pemaparan sebelumnya dengan menekankan bahwa Indonesia secara geografis dan ekologis memang berada dalam kondisi yang menjadikan bencana sebagai bagian dari keseharian bangsa, baik akibat aktivitas tektonik, gunung api, perubahan iklim, maupun degradasi lingkungan. Ia menyoroti bahwa frekuensi dan keragaman bencana yang terus berulang menuntut adanya pendokumentasian yang serius dan berkelanjutan, karena tanpa catatan yang tertulis, pengalaman kolektif masyarakat terhadap bencana cenderung cepat dilupakan dan tidak terkonversi menjadi pengetahuan yang dapat dipelajari lintas generasi.
Berangkat dari pengalamannya terlibat langsung dalam penanganan tsunami Aceh 2004, Laksono menjelaskan bahwa pada masa itu manajemen bencana kesehatan masih sangat spontan dan belum ditopang oleh sistem yang matang, termasuk keterbatasan referensi dan standar operasional. Laksono mengisahkan bagaimana keterlibatan tim UGM saat itu lebih diarahkan pada penguatan sistem manajemen dan dokumentasi, bukan sekadar distribusi bantuan medis, karena data, koordinasi, dan pencatatan justru menjadi kebutuhan paling krusial di lapangan. Pengalaman tersebut kemudian mendorong upaya penulisan dan pendokumentasian yang rinci, mulai dari fase tanggap darurat, pemulihan, hingga rekonstruksi, yang kelak menjadi sumber pembelajaran penting bagi pengembangan manajemen bencana kesehatan di Indonesia.
Menutup pembahasannya, Laksono mengaitkan refleksi historis tersebut dengan situasi banjir besar yang tengah melanda Sumatera, khususnya Aceh, yang menurutnya memiliki karakter berbeda dengan bencana gempa karena berlangsung lebih lama dan berulang. Laksono juga menekankan pentingnya pencatatan detail atas penanganan banjir saat ini, bukan semata untuk kepentingan laporan, tetapi sebagai investasi pengetahuan agar Indonesia memiliki bekal historis dan sistematis dalam memperkuat mitigasi serta kesiapsiagaan menghadapi bencana serupa di masa depan.
Informasi selengkapnya:
Reporter:
Galen Sousan Amory, S. Sej.
SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera
SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
NARAHUBUNG
Galen Sousan Amory (galen.s.a@mail.ugm.ac.id / 082138250050)
