Penelitian Sejarah Kebijakan Kesehatan Pasca Reformasi Politik 1999 sampai Post-Pandemi Covid-19
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan senantiasa dibutuhkan oleh manusia sejak lahir hingga meninggal dunia. Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan dari segi informasi, pelayanan preventif, promotif, kuratif rehabilitatif merupakan hal pokok yang yang mestinya bisa diakses oleh individu secara mudah. Bahkan paradigma pelayanan kesehatan kini bertambah seiring dengan pembaruan undang-undang di bidang kesehatan yaitu pelayanan kesehatan paliatif. Sejarah kesehatan di Indonesia memiliki beberapa rezim dan pembentukan-pembentukan awalnya tidak dapat dilepaskan dari pendudukan penjajah di masa lalu. Setidaknya sejarah kesehatan di Indonesia dapat terbagi ke dalam 4 periode. Periode yang pertama adalah periode kolonial, kemudian dilanjutkan dengan periode pasca kemerdekaan (orde lama), periode ketiga adalah orde baru dan periode keempat adalah periode reformasi. Masing-masing dari periode tersebut memiliki pengaruh masing-masing terhadap agenda pembangunan kesehatan di Indonesia yang selanjutnya akan dibahas dalam bab yang terpisah.
Kebijakan-kebijakan mengenai bidang kesehatan perlu dimunculkan, dengan tujuan untuk memahami apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut muncul dan juga menilai apakah efektivitas dari kebijakan di bidang kesehatan tersebut menimbulkan suatu dampak yang mempengaruhi kebijakan kesehatan di masa kini. Hal ini juga selaras dengan motif penelitian sejarah yang berupaya untuk mengadakan penyelidikan dan kemudian melaksanakan pencatatan mengenai hubungan sebab akibat dan perkembangannya.
Perkembangan Kebijakan Kesehatan sebelum Reformasi Politik 1999
Menurut Boomgaard (1996) dan Akira (1996), perjalanan sejarah pelayanan kesehatan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu kedokteran Barat di Asia sejak tahun 1649. Pada masa itu, pelayanan kesehatan Barat terutama ditujukan untuk keluarga bangsawan. Purwanto (1996) menambahkan bahwa rumah sakit pada masa kolonial di Hindia Belanda secara eksklusif diperuntukkan bagi orang-orang Eropa, terutama militer dan pegawai pemerintah kolonial. Masyarakat Timur Jauh, khususnya masyarakat Tiongkok, dipaksa oleh peraturan VOC dan pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan rumah sakit mereka sendiri, sementara penduduk pribumi diabaikan dalam pelayanan kesehatan. Catatan sejarah pada masa kolonial cenderung lebih fokus pada rumah sakit daripada pengobatan atau keberhasilan pengobatan.
Muhsin (2012) menyoroti kurangnya sejarah pengobatan pada masa kolonial karena efektivitas tenaga medis pada saat itu masih diragukan, terbukti dengan tingginya angka penyakit tropis. Pada abad ke-18, penulisan sejarah tentang rumah sakit meningkat, dengan contohnya adalah pendirian Rumah Sakit Kusta oleh dr. Ten Rhyne pada tahun 1680 di sekitar Teluk Jakarta, dikenal juga sebagai Pulau Purmerend. Namun, kesuksesan pengobatan masih diragukan, seperti terlihat pada pembentukan rumah sakit jiwa pada tahun 1769 di Jakarta yang kurang efektif dalam merawat pasien jiwa karena kekurangan tenaga dan terapis. Rumah sakit jiwa tersebut pada dasarnya didirikan untuk memisahkan pasien jiwa dari masyarakat umum (Lombard, 2005).
Pada akhir abad ke-19, misionaris Zending Kristen dan Ordo-Ordo Suster Katolik mulai menyediakan pelayanan rumah sakit bagi penduduk pribumi di Indonesia. Langkah ini kemudian diikuti oleh organisasi sosial-keagamaan Islam seperti Muhammadiyah yang mendirikan pelayanan kesehatan umum bagi penduduk pribumi di Yogyakarta pada tahun 1923. Bersama dengan rumah sakit yang dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda, berbagai rumah sakit swasta keagamaan juga mendapat subsidi dari pemerintah.
Dalam konteks perubahan dalam pengobatan pada masa kolonial, diperkenalkannya vaksin, kina, dan ilmu kedokteran kolonial dapat dianggap sebagai revolusi (Muhsin Z., 2012). Pada tahun 1779, mulai tersebar pamflet dan artikel ilmiah yang memperkenalkan vaksin untuk mengurangi kasus cacar di bandar-bandar pesisir. Upaya distribusi vaksin yang efektif dilakukan untuk meningkatkan efektivitasnya dan memastikan ketersediaan vaksin secara merata. Tingginya tingkat penyakit malaria mendorong pengenalan kina dan kebijakan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan akan kina serta pemilihan spesies kina yang efektif dalam penyembuhan malaria. Revolusi kesehatan juga mencakup pendirian lembaga pendidikan kedokteran seperti Dokter Jawa School pada tahun 1851, yang kemudian berkembang menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) pada tahun 1902, berbasis di Batavia. Di masa kolonial, dokter diizinkan untuk praktik swasta dan diberi gaji oleh pemerintah, membuat mereka menjadi profesional yang relatif kaya dengan gaya hidup kelas atas. Beberapa dari mereka bahkan belajar di Belanda dan menjadi tokoh perintis kemerdekaan (Depkes, 1978a).
Pada abad ke-16, sekitar tahun 1626, VOC mendirikan rumah sakit yang khusus melayani pegawai VOC saja, sementara penduduk pribumi diharuskan membayar sendiri (Kurniarini, Darini and Dewi, 2015). VOC pada saat itu hanya membiayai pengobatan pegawainya saja. VOC cenderung mengelola rumah sakit untuk kepentingan ekonomi, tanpa memprioritaskan pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum. Perlu waktu sekitar 3 abad bagi pemerintah atau penguasa untuk mulai memperhatikan pembiayaan kesehatan agar pelayanan kesehatan lebih mudah dijangkau dan terjangkau.
Meskipun pembangunan di Pulau Jawa berkembang pesat, pemerataan kesehatan masih menjadi tantangan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah saat ini. Kebijakan dan praktik kedokteran masih terpusat di Pulau Jawa sejak masa kolonial.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, terjadi kekacauan dalam tatanan hukum ketika pemerintah Indonesia merebut sebagian aset dari Belanda. Banyak rumah sakit militer, keagamaan, dan pemerintah kolonial Belanda yang berubah kepemilikannya menjadi milik TNI, pemerintah daerah, atau pemerintah pusat. Perpindahan kepemilikan dari lembaga keagamaan menjadi kepemilikan pemerintah menjadi salah satu faktor penyebab penurunan subsidi dari luar negeri (Trisnantoro, 1999).
Pada awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1953 tentang Merawat Orang-Keluarga Miskin dan Orang-Orang yang Kurang Mampu serta Undang-Undang No. 48 Tahun 1953. Kedua undang-undang ini menjadi dasar hukum untuk penunjukan rumah sakit swasta yang merawat keluarga miskin dan orang-orang kurang mampu, meskipun pelaksanaannya tidak jelas. Rumah sakit di Indonesia beroperasi dengan sumber anggaran yang terbatas dan harus mencari pendapatan sendiri untuk biaya operasionalnya. Pada masa Orde Lama, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang tidak bergantung pada bantuan asing untuk rumah sakit, sementara bantuan asing dari WHO dan USAID diarahkan untuk pemberantasan Malaria (Depkes, 1978b).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, sektor kesehatan di Indonesia mencatat kembalinya lembaga donor internasional seperti WHO dan UNICEF (Depkes, 1978c). Pelayanan kesehatan primer menjadi fokus utama. Sistem jaminan pembiayaan pemerintah masih terbatas bagi pegawai negeri dan militer, seperti yang telah terjadi sebelumnya (Guadiz-Padmohoedojo, 1995). Di sektor swasta, pengelola yayasan dan perkumpulan keagamaan mulai melihat rumah sakit sebagai institusi yang tidak lagi memerlukan dukungan finansial eksternal. Secara bertahap, banyak rumah sakit keagamaan mulai bergantung pada pendapatan sendiri, bukan subsidi luar seperti pada masa Hindia Belanda. Namun, perkembangan ini berdampak pada kekurangan dana bagi rumah sakit pemerintah di Indonesia, termasuk dalam hal pembayaran gaji dan insentif yang layak bagi dokter. Subsidi untuk rumah sakit pemerintah hanya terbatas pada gaji tenaga kesehatan dan pembelian peralatan. Sistem penggajian tenaga kesehatan, termasuk dokter, mengikuti pola pegawai negeri sipil, yang tidak selalu memenuhi harapan dokter. Insentif bagi dokter di rumah sakit pemerintah yang berasal dari pendapatan rumah sakit selama masa Operasi Tertib (Opstib) bahkan dianggap sebagai pelanggaran, menurut komunikasi pribadi dengan mendiang Dr. Sudibjo Sardadi MPH, yang menjabat sebagai direktur RS DR Sardjito pada tahun 1980-an.
Sebagai hasilnya, dokter spesialis pemerintah memanfaatkan waktu mereka untuk bekerja di rumah sakit swasta atau membuka praktik pribadi untuk meningkatkan penghasilan mereka. Hal ini tercermin dari fenomena dimana banyak rumah sakit yang didirikan atau dimiliki oleh dokter spesialis pemerintah di berbagai kota. Sebagai akibatnya, dokter tidak hanya bertindak sebagai tenaga medis, tetapi juga sebagai pemilik penyedia layanan kesehatan.
Salah satu titik penting dalam sejarah rumah sakit adalah perubahan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/86 terkait rumah sakit swasta. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan baru (Menkes/Per/II/1990), lembaga yang berorientasi pada profit diperbolehkan menjadi bentuk hukum rumah sakit. Perubahan ini menandai meningkatnya pengaruh pasar dalam sektor kesehatan di Indonesia.
Pada tahun 1990-an, pemerintah menyediakan subsidi biaya operasional melalui program OPRS dari Departemen Kesehatan dan SBO dari Departemen Dalam Negeri (Trisnantoro, 1999a). Namun, subsidi tersebut terbukti tidak mencukupi, dan tidak ada insentif untuk pendapatan dokter. Melalui Keputusan Presiden Nomor 38 tahun 1991, pemerintah Indonesia memperkenalkan kebijakan rumah sakit swadana. Kebijakan ini bertujuan memberikan otonomi keuangan kepada rumah sakit yang didukung oleh konsep subsidi silang pasien di rumah sakit. Namun, konsep subsidi silang ini tidak berhasil karena sulit untuk mendapatkan keuntungan dari pasien kaya untuk digunakan sebagai subsidi bagi pasien miskin. Kebijakan swadana kemudian dihentikan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1998, dan digantikan dengan konsep Perusahaan Jawatan (Perjan) untuk RSUP. Pada tahun 2005, terjadi perubahan lagi di mana status RSUP sebagai Perjan diubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005.
Perubahan ini menunjukkan adanya proses korporatisasi rumah sakit pemerintah. Korporatisasi menjadikan rumah sakit pemerintah sebagai lembaga usaha (walaupun tidak diswastanisasi). Gejala ini terjadi di berbagai belahan bumi dengan didahului oleh rumah sakit di Amerika Serikat (Preker, 2003; Eid, 2001; Shortel dkk, 1992).
Pada akhir tahun 1990-an, terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang membuat akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan menjadi sulit. Salah satu faktor penyebab krisis tersebut adalah kerentanan ekonomi Indonesia karena dampak dari liberalisasi perdagangan pasar modal dan keuangan (Stiglitz, 2002), serta kurangnya transparansi dan demokrasi (Sadli, 1999). Sebagai respons terhadap hal ini, pemerintah Indonesia meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau social safety net. Program ini merupakan bentuk pengaman sosial yang digunakan oleh negara-negara yang berlandaskan mekanisme pasar, sebagai sistem perlindungan bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli layanan kesehatan (Kovner dan Jonas, 1999). Di Amerika Serikat, program ini dikenal dengan kebijakan Medicaid dan Medicare yang diberlakukan pada tahun 1960-an.
Program JPS ini kemudian diikuti dengan kebijakan penyediaan dana keluarga miskin yang berasal dari dana kompensasi BBM mulai tahun 2001. Dengan adanya model JPS maka kebijakan yang dipakai adalah: pemberi subsidi adalah pemerintah bukan pasien rumah sakit yang kaya dengan konsep subsidi silang.
Pada tahun 1999, kebijakan desentralisasi diberlakukan di Indonesia, yang menghasilkan perkembangan wilayah menjadi berbagai lingkungan ekonomi yang berbeda-beda. Setiap wilayah dapat memiliki sistem kesehatan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di wilayah dengan tingkat ekonomi yang kuat, layanan kesehatan swasta mungkin dominan. Selama periode ini, sektor kesehatan mengalami banyak perubahan, termasuk dalam hubungannya dengan pemerintah daerah dan swasta.
Pada tahun 2020, terjadi pandemi Covid-19 yang memiliki dampak yang sangat serius. Sistem kesehatan hampir mengalami kegagalan total. Namun, selama masa pandemi Covid-19, berbagai inovasi diimplementasikan dalam sektor kesehatan. Inovasi-inovasi ini menjadi dasar dari kebijakan Transformasi Kesehatan yang diperkuat oleh Undang-Undang Kesehatan tahun 2023 yang bersifat Omnibus Law. Sebelas undang-undang terkait sektor kesehatan dicabut dan diperbaiki. Namun, masih banyak undang-undang yang mengatur sektor kesehatan yang belum dimasukkan ke dalam Omnibus Law, termasuk Undang-Undang SJSN (2004) dan Undang-Undang BPJS (2011).
Perlunya penelitian sejarah kebijakan kesehatan Pasca Reformasi Politik 1998 dan dalam pelaksanaan UU no 17 tahun 2023 tentang Kesehatan
Kebijakan kesehatan seperti yang terjadi di Indonesia sebelum Reformasi Politik 1998 merupakan suatu proses panjang, berkesinambungan dan juga ada yang tidak berkesinambungan, dan termasuk dalam area untuk diperdebatkan secara historis. Untuk itu perlu kita cermati definisi kebijakan kesehatan:
Health policy embraces courses of action that affect the set of institutions, organizations, services, and funding arrangements of the health care system. It goes beyond health services, however, it includes actions or intended actions by public, private, and voluntary organizations that have an impact on health (Walt, 1994).
Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Pemahaman tentang arti kebijakan kesehatan dilengkapi oleh Janovsky & Cassels (1996), sebagai:
“The networks of interrelated decisions which together form an approach or strategy in relation to practical issues concerning health care delivery”.
Atas dasar itu ia membagi kebijakan kesehatan dalam Kebijakan teknis (technical policies) atau kebijakan operasional (operational policies) yang cenderung bernuansa pelaksanaan kegiatan dan Kebijakan institusional (institutional policies) atau kebijakan strategis (strategic policies) yang cenderung bernuansa strategis. Oleh karena itu, ada yang melihat kebijakan kesehatan sebagai kebijakan publik karena memang memuat kebijakan publik yang tak ada perbedaan namun berlaku untuk bidang kesehatan.
Kebijakan Kesehatan sendiri tidak lepas dari perkembangan sejarah pemerintahan di suatu negara. Oleh karena itu penulisan ini mengambil pokok awal dari adanya Reformasi Politik di tahun 1999 yang menutup era Orde Baru di bawah Presiden Suharto menjadi era Reformasi dengan demokrasi multi-partai dan desentralisasi pemerintahan ke provinsi dan kabupaten/kota.
Secara ideologis, beberapa pihak memandang pelayanan kesehatan sebagai hak untuk semua orang. Pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan manusia yang pantas untuk didapatkan oleh semua pihak. Pendanaan kesehatan menjadi hal yang sangat penting dalam ideologi kebijakan kesehatan yang sangat diperhatikan dalam Reformasi 1999.
Reformasi ini berjalan terus dan hasilnya tidak meyakinkan. Ketika Covid19 terjadi, sistem kesehatan berada dalam situasi yang sangat buruk dan nyaris tidak mampu melawan pandemik. Namun dengan berbagai keberanian dan inovasi baru, Pandemik Covid19 dapat ditangani dengan baik dan menjadi modal untuk melakukan transformasi kesehatan. Kebijakan transformasi ini kemudian diperkuat dengan UU Kesehatan 2023.
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan tersebut, maka yang akan dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah dinamika dan perubahan-perubahan penting dan mendasar dalam berbagai aspek (hukum, sosial dan politik) mengenai kebijakan kesehatan di Indonesia sejak masa Reformasi sampai dengan masa Post-Pandemi Covid-19. Untuk memudahkan dalam operasional penelitian, rumusan masalah tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian yaitu:
- Kondisi sosial-politik apa yang melatarbelakangi disusun dan diterapkannya berbagai peraturan perundangan mengenai kesehatan pada periode itu?
- Faktor dan pertimbangan apa yang mendasari pemerintah diterapkannya berbagai kebijakan kesehatan di Indonesia pada periode itu?
- Apa dampak dari penerapan kebijakan kesehatan tersebut bagi kondisi kesehatan masyarakat khususnya dan kehidupan bernegara umumnya?
- Bagaimana praktik penerapan kebijakan kesehatan di berbagai daerah di Indonesia?
- Siapa saja tokoh yang mempunyai kontribusi penting dalam berbagai kebijakan kesehatan di Indonesia?
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mencatat perkembangan sejarah kebijakan kesehatan dengan periode sebagai berikut:
- Periode UU Desentralisasi (atau UU mengenai Pemerintahan Daerah) dan UU Praktik Kedokteran
- Periode adanya JKN dengan UU BPJS di tahun 2011
- Periode Pandemi Covid19
- Periode penyusunan UU Kesehatan 2023 dengan pendekatan Omnibus Law
2. Menganalisis catatan untuk menjadi tulisan sejarah dalam bentuk artikel di jurnal, dan buku,
3. Melakukan pendokumentasian secara ilmiah apa yang terjadi di masa antara Tahun 1998 - 2023, yang merupakan kegiatan trans-disiplin untuk keperluan praktis dan akademik.
- Tersusunnya buku babon sejarah kebijakan kesehatan di Indonesia dari masa Reformasi sampai masa Post-Covid-19.
- Terdokumentasikan arsip dan dokumen mengenai kebijakan kesehatan di Indonesia dari masa Reformasi sampai masa Post-Covid-19.
- Terdokumentasikan hasil sejarah lisan dengan berbagai tokoh kunci, pelaku sejarah dan saksi sejarah kebijakan kesehatan di Indonesia dari masa Reformasi sampai masa Post-Covid-19.
Sejarah mencatat Perkembangan Masyarakat dalam berbagai hal: ekonomi, politik, budaya, teknologi, epidemiologi dan berbagai hal lainnya. Kebijakan publik ditetapkan untuk melakukan perubahan di masyarakat agar lebih baik, termasuk dalam sektor kesehatan. Kebijakan-kebijakan ini perlu dicermati keberlanjutannya dengan pengamatan yang sistematis melalui metode penelitian sejarah.
Penelitian sejarah atau historiografi menurut pengertian adalah:
"Berusaha untuk secara sistematis menangkap kembali nuansa kompleks, orang-orang, makna, peristiwa, dan bahkan gagasan masa lalu yang telah mempengaruhi dan membentuk masa kini". (Berg & Lure, 2012, hal.305)
Penelitian sejarah bergantung pada berbagai sumber, baik primer maupun sekunder, termasuk materi yang tidak dipublikasikan. Ini merupakan tahap Heuristik (melihat kembali arsip, Dokumen, pelaku sejarah), yang kemudian dikritisi, dengan memilah mana yang valid dan tidak valid/kredibel/non kredibel). Langkah selanjutnya adalah interpretasi dan menyusun tulisan historis.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam penelitian ini metode penelitian sejarah kritis (Kuntowijoyo, 2003). Proses atau tahapan yang dijalankan dalam penelitian ini mencakup 4 tahapan yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Tahap pertama, adalah heuristik atau pengumpulan sumber. Adapun sumber yang digunakan dalam penelitian ini berupa traces jejak sejarah dokumen/arsip tertulis, sumber artefaktual benda-benda, dan oral history/sejarah lisan. Sumber utama penelitian ini adalah arsip dan dokumen yang berhubungan dengan kebijakan kesehatan yang berdasarkan pada peraturan perundangan baik yang diproduksi oleh lembaga legislatif maupun turunannya yang dikeluarkan oleh pemerintah (Kementerian Kesehatan) sejak periode Reformasi.
Tahap kedua, adalah verifikasi terhadap sumber yang telah ditemukan. Dalam proses verifikasi sumber itu, dilakukan kritik terhadap sumber, yaitu kritik ekstern (kritik terhadap bahan atau barang yang dipakai sumber) untuk mendapatkan autentisitas dari sumber yang akan digunakan (Kuntowijoyo, 2013). Setelah itu diadakan kritik intern terhadap sumber, yaitu kritik terhadap isi, apakah isinya itu kredibel (dapat dipercaya kebenarannya), sehingga akan menjadi fakta sejarah yang akurat apabila dipakai sebagai dasar dan bahan penulisan sejarah ini (Sjamsuddin, 2006).
Tahap ketiga adalah Darstellung atau interpretasi sumber. Setelah diverifikasi, sumber perlu diinterpretasi untuk mendapatkan kisah sejarah. Klasifikasi secara kronologis atas fakta-fakta yang diperoleh selanjutnya diperlukan untuk melancarkan penulisan kisah (Kuntowijoyo, 2008). Dengan demikian akan terjadi proses yang berkesinambungan dan secara kronologis dari kisah yang ditulis dan di sisi lain juga untuk menghindari anakronisme atau fallacy (Truman, 2010). Tahap ini bermuara pada sintesis.
Tahap keempat, adalah Auffassung (historiografi) dengan menyusun fakta secara logis dan kronologis, serta analisis untuk menghasilkan sebuah kajian sejarah yang berkualitas. Tahap keempat adalah tahap akhir dari penulisan sejarah, yang hasilnya adalah bentuk kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini lebih banyak merupakan data kualitatif, namun bukan berarti mengabaikan data-data kuantitatif. Data-data itu selanjutnya diolah dengan menggunakan prinsip-prinsip analisis korelatif dan kemudian disajikan dengan menggunakan metode deskriptif- analitis.
Dalam upaya menghasilkan penjelasan sejarah yang lebih komprehensif memerlukan alat serta perangkat analisis berupa pendekatan atau sudut pandang serta konsep teoritik yang dapat menuntun sejarawan untuk dapat menjelaskan, mengklarifikasi pertanyaan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi. Pendekatan analisis seperti itu akan menghasilkan gambaran sejarah yang disebut deskriptif analitik atau sejarah kritis-analitis (Kartodirdjo, 1993).
Sumber/Data Primer
- Catatan saksi mata atas kejadian tersebut
- Sumber dapat berupa kesaksian lisan atau tertulis
- Ditemukan dalam catatan publik & dokumen hukum, risalah rapat, catatan perusahaan, rekaman, surat, buku harian, jurnal, gambar
- Terletak di arsip universitas, perpustakaan, atau koleksi yang dikelola swasta seperti masyarakat sejarah lokal.
Sumber/Data Sekunder
- Dokumen dalam bentuk lisan atau tulisan
- Laporan kejadian-kejadian penting yang terlacak
- Ditemukan dalam buku teks, ensiklopedia, artikel jurnal, surat kabar, biografi, dan media lain seperti film atau rekaman.
Proses Tahap Pertama
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian melingkupi 3 bagian yaitu pertama, berupa pengumpulan data fisik berupa arsip dan dokumen yang dilakukan di berbagai instansi dan kantor, kedua berupa wawancara mendalam (indepth interview) terhadap para pelaku sejarah (key persons) yang mengambil kebijakan penting dalam bidang kesehatan pada periode reformasi hingga post covid-19, dan ketiga berupa FGD dengan para tokoh yang mengetahui secara langsung maupun tidak langsung, berbagai informasi mengenai tema penelitian.
Seperti yang telah dituliskan pada timeline dan lokasi penelitian, pada tahap pertama akan dilaksanakan Pengumpulan Sumber/Data. Pengumpulan tersebut akan dilaksanakan dengan cara menelusuri jenis sumber utama dan kedua. Pengumpulan pertama akan dilaksanakan di:
- Kementerian Kesehatan RI
- Menteri Kesehatan
- Sekjen Kemenkes
- Dirjen Pelayanan Kesehatan
- Dirjen Tenaga Kesehatan
- Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan
- Dirjen Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
- BKPK
- Sekretariat DPR RI
- Arsip Nasional
- Perpustakaan Nasional
- Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
- Dinas Kesehatan Provinsi DIY
Untuk pengumpulan data dari sumber kedua, tim peneliti akan mengumpulkan sumber sejarah yang berhubungan dengan tema dan fokus penelitian yang disimpan di berbagai lembaga tersebut diatas, yang dapat berupa :
- Arsip
- Dokumen
- Peraturan perundangan dan dokumen yang menjadi pelengkapnya (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Surat Edaran, Naskah Akademik UU, Peraturan Daerah)
- Dokumentasi berupa foto, video, atau rekaman suara
- Laporan berbagai kebijakan dan implementasinya
- Hasil monitoring dan evaluasi berbagai kebijakan kesehatan
2. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu metode untuk mengumpulkan sumber-sumber yang akan diteliti dengan melibatkan pelaku utama dari sejarah. Rincian dari wawancara yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengumpulan sumber seperti tergambar dalam tabel di atas, untuk lebih lengkapnya mengenai mekanisme akan dijelaskan sebagai berikut.
Mekanisme wawancara
Waktu pelaksanaan : (Maret 2024)
Pelaksana : (merujuk pada tabel pengumpulan sumber)
Alat yang dibutuhkan : Alat perekam, daftar pertanyaan, akun zoom
Narasumber : (terlampir dalam tabel di bawah)
Lembaga/Instansi | Narasumber |
Kemenkes | Faried Anfasa Moeloek |
Kemenkes | Siti Fadilah Supari |
Kemenkes | Nafsiah Mboi |
Kemenkes | Nila Djuwita A. Moeloek |
Kemenkes | Terawan Agus Putranto |
Kemenkes | Budi Gunadi Sadikin |
Kemenkes | Oscar Primadi |
Kemenkes | Siswanto |
Dekan FK Undiksha Bali | M. Ahmad Djojosugito |
Kemenkes (Yankes) | Akmal Tahir |
Kemenkes (Yankes) | Abdul Kadir |
Dirjen KIA | Slamet Yuono Suroso |
Farmalkes | Linda M |
Farmalkes | Engko S |
Dirjen Farmalkes | Purwadi |
P2P | Prof Umar Fahmi Ahmad |
P2P | Prof Tjandra Yoga Aditama |
Dirjen Yankes | Bambang Wibowo Sp.OG |
PPSDM | Untung Suseno Sutarjo |
PPSDM | Usman Sumantri |
Sekjen | Syafii Ahmad |
Sekjen | Ratna Rosita |
Sekjen | Supriyantoro |
Satgas COVID | |
3. Focus Group Discussion
Kegiatan FGD di dalam penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan masukan sebanyak mungkin mengenai kerangka penelitian yang disusun. Produk yang dapat dihasilkan dari FGD ini adalah kerangka penelitian yang siap untuk digunakan dalam penulisan laporan pendahuluan.
Apa yang terjadi di setiap periode akan dilihat dengan topik sebagai berikut:
A. Pasca Reformasi Politik 1999
- Kebijakan stratejik
- reformasi politik dan tata pemerintahan secara umum
- reformasi otonomi daerah
- reformasi desentralisasi sektor kesehatan, termasuk reformasi sistem kesehatan
- reformasi pembiayaan/pendanaan kesehatan
- Kebijakan Operasional
- Kebijakan fasilitas kesehatan (pelayanan primer dan pelayanan rujukan)
- Kebijakan SDM Kesehatan (Pendidikan, Sistem Insentif, Organisasi Profesi)
- Kebijakan di bidang Farmalkes
- Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
- Kebijakan Sistem Informasi Kesehatan
B. Pasca Pandemi COVID-19
- Kebijakan Stratejik
- Penanganan Pandemi COVID-19 (tata kelola pandemi, pendekatan multisektoral, sinergi pemerintah, swasta dan masyarakat
- PSBB (regulasi, operasional, peritimbangan ekonomi)
- Kebijakan Operasional
- Penguatan surveilans (penemuan kasus, penemuan kontak, intervensi/pengobatan)
- percepatan perluasan laboratorium
- percepatan vaksinasi
- penguatan pelayanan kesehatan primer dan rujukan
- menjamin pelayanan kesehatan esensial
- Transformasi Kesehatan (dengan 7 Pilar Transformasi Kesehatan)
- Pelayanan primer (penguatan edukasi, pencegahan primer (Vaksinasi), pencegahan sekunder (deteksi dini)
- Pelayanan rujukan (pemenuhan SDM, pemenuhan peralatan, penguatan pelayanan KJSU)
- penguatan pelayanan KIA
- percepatan penurunan stunting
- Kebijakan penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM)
- Kebijakan kesehatan jiwa
- Kebijakan pelayanan kesehatan tradisional
- Kebijakan dalam governance kesehatan:
- Kebijakan Pelaku-pelaku dalam masa Reformasi (terkait dengan Governance Sektor Kesehatan):
-
-
- Sejarah Kemenkes: termasuk Direktorat-direktorat Jenderal.
- Sejarah hubungan Kemenkes dengan Kementerian-kementerian lain terkait kesehatan. Misal dengan Kementerian Lingkungan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian Bappenas, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian.
- Sejarah Badan-badan kesehatan di luar Kemenkes; BPJS, BPOM, BKKBN.
- Sejarah Desentralisasi Kesehatan (dengan Pemerintah Daerah).
- Sejarah keterlibatan badan-badan asing di Indonesia: WHO, Bank Dunia yang terkait Global health dll.
- Sejarah hubungan dengan Organisasi Profesi dan Kolegium.
-
-
- Kebijakan Pendanaan: kecukupan, pemerataan, keberlanjutan. Terkait APBN-APBD, BPJS, Askes Komersial.
- Kebijakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (RS dan pelayanan primer): Jumlah, lokasi, kepemilikan, sistem jaringan, profit dan non-profit. Terkait access, availability, quality, dan affordability,
- Kebijakan SDM Kesehatan (Pemerataan-akses, Ketersediaan Team untuk pelayanan, Pendidikan, Sistem Insentif, Medical Education termasuk Hospital Based dll)
- Kebijakan Penelitian Kesehatan dan Teknologi Kesehatan
- Kebijakan Teknis dalam program Kesehatan
- Kebijakan Upaya Kesehatan primer dan rujukan dalam kontek promotif, preventif, curative, rehabilitatif, dan paliatif.
- Kebijakan Penanganan berbagai masalah kesehatan:
-
-
- Menular; TV, AIDS, Malaria dll
- Tidak Menular: KIA, Stunting, Jantung, dll
-
-
- Kebijakan Promosi Kesehatan: terkait dengan perkembangan lifestyle di masyarakat dan teknologi komunikasi masa, dan antropologi.
- Kebijakan Pencegahan dan Penangan Pandemik.
- Kebijakan Ketahanan industri obat dan alat kesehatan: (1) access, availability, quality, affordability, and (2): resiliency.
- Kebijakan Kesehatan Jiwa: stigma, financing, dll.
- Kebijakan Pelayanan kesehatan Gigi.
- Kebijakan Pelayanan kesehatan tradisional.
Dalam pelaksanaannya akan ada semacam Buku Induk yang berisi hal-hal utama dalam sejarah kesehatan.
Akan diikuti oleh publikasi yang lain.
Penelitian dan penulisan buku ini akan dilaksanakan oleh:
- dr. Andreasta Meliala, M.Kes.,MAS.
- Baha’Uddin, S.S., M.Hum
- Valentina Lakhsmi Prabandari, MHPM.
- Nila Munana, S.HG., MHPM.
- Yoga Prajanta, S.E.
- Aulia Putri Hijriyah, S.Sej.
- Azahra
- Daranindra Ardhana Prameswari
- Wheli Sutra Pradana
- Yogi Hendrawan
- Zidni Faidloka
Lokasi Penelitian
- Kemenkes RI dan Lembaga-lembaga yang terkait Kebijakan Kesehatan di bawah koordinasi Kemenkes
Biro Hukum
b. Biro Umum (Arsip)
c. Biro Komunikasi dan Layanan Publik
d. Litbangkes (perpustakaan) - PPID- Sekretariat DPR RI
- Perpustakaan Nasional Jakarta
- Arsip Nasional Republik Indonesia Jakarta
- Perpustakaan dan Arsip Daerah Yogyakarta
Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan
Penelitian ini akan memiliki kegiatan-kegiatan yang sudah disusun berdasarkan metode penelitian, yang akan berlangsung pada:
Tahap Kegiatan | April | Mei | Juni | Juli | Agustus | September | ||||||||||||||||||
1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 | |
Persiapan | ||||||||||||||||||||||||
a. Pembuatan proposal | ||||||||||||||||||||||||
b. Persiapan administrasi | ||||||||||||||||||||||||
Tahap 1 (Heuristik atau Pengumpulan Sumber) | ||||||||||||||||||||||||
Arsip dan Dokumen | ||||||||||||||||||||||||
a. Penelusuran Arsip dan Dokumen di Arsipnas dan Perpusnas RI | ||||||||||||||||||||||||
b. Penelusuran Dokumen di Kemenkes RI | ||||||||||||||||||||||||
c. Dirjen Pelayanan Kesehatan | ||||||||||||||||||||||||
d. Dirjen Tenaga Kesehatan | ||||||||||||||||||||||||
e. Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan | ||||||||||||||||||||||||
f. BKPK | ||||||||||||||||||||||||
g. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit | ||||||||||||||||||||||||
h. Penelusuran Dokumen di PPID-Sekretariat DPR RI (Sekjen) | ||||||||||||||||||||||||
i. Dinas Kesehatan Jakarta | ||||||||||||||||||||||||
j. Dinas Kesehatan D.I. Yogyakarta | ||||||||||||||||||||||||
j. Seleksi sumber | ||||||||||||||||||||||||
Wawancara | ||||||||||||||||||||||||
a. Reformasi tahun 1999 Narasumber: 1) Faried Anfasa Moeloek | ||||||||||||||||||||||||
b. Pasca Reformasi 1) Siti Fadilah Supari 2) Endang Rahayu Sedyaningsih 3) Ali Ghufron Mukti 4) Nafsiah Mboi 5) Nila Moeloek | ||||||||||||||||||||||||
c. Pasca Pandemi COVID-19 1) Terawan Agus Putranto 2) Budi Gunadi Sadikin | ||||||||||||||||||||||||
Dekan FK Undiksha Bali (M. Ahmad Djojosugito | ||||||||||||||||||||||||
Kemenkes (Yankes) (Akmal Tahir) | ||||||||||||||||||||||||
Kemenkes (Yankes) (Abdul Kadir) | ||||||||||||||||||||||||
Dirjen KIA (Slamet Yuono Suroso) | ||||||||||||||||||||||||
Farmalkes (Linda M) | ||||||||||||||||||||||||
Farmalkes (Engko S) | ||||||||||||||||||||||||
Dirjen Farmalkes (Purwadi) | ||||||||||||||||||||||||
P2P (Prof. Umar Fahmi Ahmad) | ||||||||||||||||||||||||
P2P (Prof. Tjandra Yoga Aditama) | ||||||||||||||||||||||||
Dirjen Yankes (Bambang Wibowo Sp. OG) | ||||||||||||||||||||||||
PPSDM (Untung Suseno Sutarjo) | ||||||||||||||||||||||||
PPSDM (Usman Sumantri) | ||||||||||||||||||||||||
Sekjen (Syafii Ahmad) | ||||||||||||||||||||||||
Sekjen (Ratna Rosita) | ||||||||||||||||||||||||
Sekjen (Supriyantoro) | ||||||||||||||||||||||||
Satgas COVID | ||||||||||||||||||||||||
d. Seleksi sumber | ||||||||||||||||||||||||
Tahap 2 (Verifikasi terhadap sumber yang telah ditemukan) | ||||||||||||||||||||||||
Verifikasi sumber | ||||||||||||||||||||||||
FGD I | ||||||||||||||||||||||||
Laporan Pendahuluan | ||||||||||||||||||||||||
Tahap 3 interpretasi sumber | ||||||||||||||||||||||||
Interpretasi sumber | ||||||||||||||||||||||||
Tahap 4 Penulisan Historiografi | ||||||||||||||||||||||||
Penulisan | ||||||||||||||||||||||||
Pengolahan dan analisis data | ||||||||||||||||||||||||
FGD II | ||||||||||||||||||||||||
Sinkronisasi Penulisan | ||||||||||||||||||||||||
Laporan Akhir |
Monitoring dan evaluasi akan dilaksanakan oleh tim pengawas dari Kementerian Kesehatan.
Boomgaard, P., Sciortino, R. and Smyth, I.A. (1996). Health Care in Java. Brill Academic Pub.
Departemen Kesehatan RI (1978). Materia Medika Indonesia Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Eid, F. (2001). Hospital Governance and Incentive Design. World Bank Publications.
Guadiz-Padmohoedojo, L. (1995). Historical Development. 2nd ed. PT Askes Indonesia.
Janovsky, K. and Cassels , A. (1996). Health Policy and Systems development: an Agenda for research. In: Health Policy and Systems Research: Issues, Methods and Priorities, in Janovsky K. ed. Geneva: World Health Organization.
Kartodirdjo (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru: sejarah pergerakan nasional jilid 2. Gramedia Pustaka Utama.
Kementerian Kesehatan RI (1986). Permenkes No:920/86 Mengenai Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik.
Kovner, A.R. and Jonas, S. (2002). Jonas and Kovner’s Health Care Delivery in the U.S. New York: Springer Pub.
Kuntowijoyo (2003). Metodologi Sejarah. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kuntowijoyo (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo and Muhammad Yahya (2008). Penjelasan Sejarah = Historical Explanation. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kurniarini, D.D., Darini, R. and Dewi, I.M. (2015). PELAYANAN DAN SARANA KESEHATAN DI JAWA ABAD XX. [online] Available at: https://staffnew.uny.ac.id/upload/132233219/penelitian/Pelayanan%20dan%20Sarana%20Kesehatan.pdf [Accessed 24 Jan. 2024].
Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Batas-batas pembaratan. [online] Google Books. Gramedia Pustaka Utama. Available at: https://books.google.co.id/books/about/Nusa_Jawa_Batas_batas_pembaratan.html?id=ENuMmZ1CaTcC&redir_esc=y [Accessed 24 Jan. 2024].
Muhsin Z., M. (2012). BIBLIOGRAFI SEJARAH KESEHATAN PADA MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA. Paramita: Historical Studies Journal, 22(2). doi:https://doi.org/10.15294/paramita.v22i2.2119.
Preker, A.S. and Harding, A. (2003). Innovations in Health Service Delivery : the Corporatization of Public Hospitals. Washington, D.C.: World Bank.
Purwanto, B. (1996). Sejarah Rumah Sakit Di Indonesia. Mimeo.
Sadli, M. (1999). Indonesia Crisis, dalam Southeast Asia’s Economic Crisis. H.W. Arndt H.W. AndHill (Eds) . Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 15(3).
Shortell, S.M., Friedman, B. and Morrison, E.M. (1992). Strategic Choices for Americas Hospital : Managing Change in Turbulent Time. San Francisco: Jossey-Bass.
Sjamsudin (2006). Metodologi Sejarah. Ombak.
Stiglitz, J.E. (2002). Globalization and Its Discontents. W. W. Norton & Company.
Trisnantoro, L. (1999a). Rumah sakit Sebagai Lembaga Usaha Yang Sosial.
Trisnantoro, L. (1999b). The Indonesian health service policy and management 1900 - 1999: The influence of political and economic development.
Trisnantoro, L. and Zebua (2000). Penelitian Mengenai Sejarah Ekonomi RS Bethesda. Mimeo.
Walt, G. (1994). Health policy: An Introduction to Process and power. Zed Books.