Reportase Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 4
History in the Making: Era Baru Sistem Kebijakan Kesehatan di Indonesia
PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada April hingga Juni mendatang. Kali ini webinar mengangkat topik “History in the Making: Era Baru Sistem Kebijakan Kesehatan di Indonesia”, yang diselenggarakan pada Rabu (28/5/2025). Webinar ini membahas penerapan dari kebijakan kesehatan pada masa pasca Pandemi COVID-19 yang terjadi pada 2023 hingga saat ini. Diskusi ini diharapkan dapat memahami sejarah kebijakan kesehatan dengan menganalisis konteks sosial, ekonomi, dan politik yang mempengaruhi kebijakan kesehatan di Indonesia pada pada masa setelah pandemi COVID-19 terjadi atau lebih dikenal sebagai masa new normal. Selain itu, diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan kesehatan yang diterapkan sehingga dapat menjadi wadah berdiskusi akan tantangan dan peluang dalam implementasi dari penerapan reformasi di bidang kesehatan.
Pada awal pembukaan, moderator menyampaikan mengenai pembahasan yang akan dipaparkan pada kesempatan kali ini. Webinar ini akan membahas mengenai kebijakan kesehatan pada masa pasca COVID – 19 terutama berkaitan dengan UU Nomor 17 Tahun 2023. Pandemi COVID-19 ini telah menunjukkan bahwa sistem kesehatan di Indonesia masih terbelakang. Diperlukannya reformasi besar-besaran untuk memperbaiki dan memperkuat sistem kesehatan Indonesia dalam menghadapi tantangan kesehatan pada masa mendatang. Berangkat dari semangat untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas, Kementerian Kesehatan menginisiasi dilakukannya transformasi kesehatan yang mencakup 6 pilar. Transformasi kesehatan ini, kemudian menjadi landasan filosofis pembentukan UU Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dengan pendekatan Omnibus Law.
Dalam membuka diskusi Seri 4 Webinar Sejarah Kebijakan Kesehatan yang mengangkat tema “History in the Making: Era Baru Sistem Kebijakan Kesehatan di Indonesia”, Dr. Abdul Wahid menyampaikan pengantar yang bersifat retrospektif sekaligus visioner. Wahid mengajak para peserta untuk memandang sistem kesehatan Indonesia bukan sekadar sebagai serangkaian program atau regulasi, melainkan sebagai entitas yang terus tumbuh dan berubah seiring perkembangan zaman, politik, ekonomi, serta krisis yang datang silih berganti. Dalam narasi pengantarnya, beliau menyusun alur pemikiran yang bertolak dari pemahaman historis kebijakan kesehatan nasional sejak Reformasi 1999 hingga masa pasca-COVID-19, menekankan bahwa proses ini belumlah selesai, melainkan sedang berlangsung—sebuah “sejarah yang tengah dibuat” (history in the making).
Dalam fase inilah, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi aktor sentral. Wahid menegaskan bahwa UU ini bukan sekadar revisi parsial, melainkan upaya radikal untuk membentuk ulang arsitektur sistem kesehatan Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan omnibus law, UU ini menyatukan dan merevisi berbagai ketentuan terdahulu, menyusun ulang peran kelembagaan, memperkuat mandat Kementerian Kesehatan, dan menyusun strategi-strategi baru di seluruh aspek sistem. Pihaknya menyebut pasal 413, yang berbicara tentang sinkronisasi dan koordinasi, sebagai salah satu simbol dari tekad negara untuk mengambil alih tanggung jawab penuh dalam memastikan integrasi lintas sektor dalam pelayanan kesehatan.
Wahid menegaskan bahwa yang sedang kita hadapi bukanlah hanya perubahan normatif, melainkan perubahan paradigma. Jika selama ini sistem kesehatan kita cenderung berfokus pada aspek kuratif dan rumah sakit sebagai pusat pelayanan, maka UU Nomor 17 Tahun 2023 secara eksplisit mendorong pergeseran ke arah sistem yang berbasis promotif dan preventif. Penguatan pelayanan primer, termasuk revitalisasi posyandu, standarisasi puskesmas, dan peningkatan cakupan imunisasi, menjadi titik berat yang diharapkan mampu mengubah wajah kesehatan masyarakat Indonesia dari hulu. Namun, pengantar diskusi ini tidak berhenti pada hal-hal normatif semata. Wahid juga dengan jernih mengangkat dinamika dan ketegangan yang mengiringi lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2023. Narasumber mengulas bagaimana berbagai organisasi profesi melakukan penolakan dan gugatan hukum, yang meskipun akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, mencerminkan adanya kegelisahan kolektif terhadap arah reformasi yang dirasa mengurangi otonomi profesi. Ini menjadi refleksi penting bahwa reformasi sistem kesehatan, betapapun progresif, harus tetap mengakar pada kepercayaan sosial dan dialog antar-stakeholders.
Lebih jauh, Wahid memetakan bahwa perubahan kebijakan ini tidak berlangsung dalam ruang hampa. Ada faktor-faktor struktural yang mendesak, seperti kebutuhan untuk mempercepat produksi tenaga kesehatan yang kompeten, memperluas akses pelayanan kesehatan yang merata, dan meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya. Dalam konteks ini, penataan ulang pendidikan dokter spesialis melalui pendekatan hospital-based menjadi salah satu bentuk inovasi kebijakan yang disorot. Di sisi lain, penataan sistem informasi kesehatan nasional (SIKN), integrasi data layanan, penguatan sistem pembiayaan melalui Rencana Induk Biaya Kesehatan (RIBK), serta penggunaan teknologi dalam HTA dan NHA, menunjukkan bahwa transformasi ini mencakup seluruh aspek building blocks sistem kesehatan versi WHO.
Dalam paparannya yang berjudul “History in the making: Era Baru Sistem Kebijakan Kesehatan di Indonesia”, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD memulai dengan menggambarkan pentingnya memahami konteks perubahan kebijakan kesehatan di Indonesia. Laksono menekankan bahwa Indonesia tengah berada di fase transisi penting menuju sistem kesehatan yang lebih kompleks dan terdesentralisasi, sekaligus lebih menekankan prinsip keadilan sosial. Perubahan ini tidak hanya berkaitan dengan pelayanan kesehatan semata, melainkan juga menyangkut tata kelola, pembiayaan, dan integrasi berbagai pemangku kepentingan, baik dari sektor publik maupun swasta.
Dalam era baru ini, kebijakan kesehatan tidak lagi dapat dipisahkan dari dinamika politik dan ekonomi nasional. Laksono mengajak peserta untuk memahami bahwa kebijakan kesehatan pada dasarnya adalah hasil dari proses politik—sebuah hasil negosiasi antara kepentingan-kepentingan yang beragam. Oleh karena itu, munculnya berbagai tantangan dalam pelaksanaan kebijakan, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), bukanlah hal yang mengherankan. Tantangan-tantangan tersebut mencakup ketimpangan akses layanan, distribusi tenaga kesehatan yang belum merata, serta kendala dalam penyediaan dan pembiayaan obat-obatan dan alat kesehatan.
Transformasi sistem kesehatan ini tidak bisa dilepaskan dari peran aktor-aktor non-negara. Dalam beberapa dekade terakhir, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, bahkan institusi global seperti WHO dan donor internasional memainkan peran penting dalam membentuk arah kebijakan kesehatan nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan tata kelola yang kolaboratif dan partisipatif, di mana transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan publik menjadi prinsip utama.
Tidak bisa dilepaskan dari peran aktor-aktor non-negara. Dalam beberapa dekade terakhir, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, bahkan institusi global seperti WHO dan donor internasional memainkan peran penting dalam membentuk arah kebijakan kesehatan nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan tata kelola yang kolaboratif dan partisipatif, di mana transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan publik menjadi prinsip utama.
Laksono menutup paparannya dengan pernyataan bahwa masa depan sistem kesehatan Indonesia sangat bergantung pada keberanian dan kebijaksanaan para pembuat kebijakan serta keterlibatan aktif dari masyarakat luas. Perubahan yang diharapkan tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan melalui dialog, advokasi, dan kemauan politik yang kuat. Dengan semangat kolaboratif dan visi yang jelas, Indonesia diharapkan mampu membangun sistem kesehatan yang lebih adil, tangguh, dan berkelanjutan.
Pada sesi penutupan, moderator menyampaikan juga bahwa akan ada agenda terdekat berupa diskusi mengenai kegiatan Seri Ke-5 dari Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan yang akan masuk ke dalam dan/atau masuk pada bagian dari Kegiatan Konferensi Internasional HOMSEA (History of Medicine in Southeast Asia) ke-10. Pelaksanaan konferensi ini akan dilaksanakan pada 25 Juni 2025 mendatang di Auditorium Lantai 7 Gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Pada Kesempatan ini akan dipaparkan mengenai “A Critical Evaluation Of 25 Years Of National Health Policy In Indonesia: From Reform To Post Covid-19 (1999-2023)”. Moderator menyampaikan bagi peserta webinar yang tertarik mengikuti webinar tersebut dapat mendaftarkan pada link berikut : http://ugm.id/RegistrationHOMSEA2025.
Berikut Poster kegiatan HOMSEA Ke-10 di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Informasi Selengkapnya:
- https://sejarahkesehatan.net/webinar-seri-sejarah-kebijakan-kesehatan-perkembangan-transformasi-kebijakan-kesehatan-di-indonesia-dari-reformasi-hingga-pasca-covid-19-1999-2023/
- https://sejarahkesehatan.net/history-of-medicine-in-southeast-asia-homsea-conference/
Reporter: Aulia Putri Hijriyah, S. Sej. dan Galen Sousan Amory, S. Sej.