5 mins read

Reportase Webinar Tematik Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 6

“Perkembangan Kebijakan Komponen-Komponen Sistem Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023”

PKMK-Yogyakarta.  Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Tematik: Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada September hingga Desember mendatang. Kali ini webinar mengangkat tema “Informatika Kesehatan” yang diselenggarakan pada Kamis (18/12/2025). Webinar ini membahas perjalanan historis dan transformasi manajemen bencana kesehatan di Indonesia, dari pendekatan respons darurat menuju sistem kesiapsiagaan dan ketahanan kesehatan yang lebih terstruktur, partisipatif, dan berkelanjutan, dengan refleksi atas pengalaman bencana besar hingga konteks tantangan kebencanaan mutakhir.

Dalam pengantar yang disampaikan Baha’Uddin, S.S., M.Hum mengulas evolusi kebencanaan di Indonesia dari masa kolonial hingga era reformasi dengan menekankan perubahan paradigma negara dalam memandang bencana. Baha menjelaskan bahwa pada masa kolonial, kebijakan kebencanaan bersifat reaktif dan kolonial-sentris, berorientasi pada perlindungan kepentingan pemerintah Belanda dan warga Eropa, sementara masyarakat pribumi berada di posisi marginal. Memasuki masa awal kemerdekaan, khususnya pada periode pemerintahan Soekarno, bencana mulai dipahami sebagai bagian dari perjuangan nasional dan tanggung jawab negara, meskipun keterbatasan sumber daya akibat perang dan diplomasi kemerdekaan membuat penanganannya masih bersifat sporadis.

Lebih lanjut, Baha memaparkan bahwa pada masa Orde Baru, kebencanaan dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan ekonomi sehingga ditangani secara lebih terpusat, teknokratis, dan melibatkan militer sebagai aktor utama, terutama dalam respons darurat dan distribusi logistik. Perubahan signifikan baru terjadi pada era reformasi, ketika pendekatan kebencanaan bergeser ke arah tata kelola yang lebih inklusif dan berorientasi pada pengurangan risiko, ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana serta pembentukan BNPB dan BPBD di daerah. Dalam kerangka ini, bencana tidak lagi dilihat semata sebagai musibah, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran bersama yang melibatkan negara, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan, meskipun tantangan implementasi dan keterbatasan anggaran masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini.

Dalam paparan materi yang disampaikan oleh Madelina Ariani, SKM., MPH, menjelaskan bagaimana sejarah kebencanaan dan kebijakan kesehatan di Indonesia berkelindan membentuk perkembangan manajemen bencana kesehatan, terutama sejak era reformasi hingga pasca pandemi COVID-19. Madelina menekankan bahwa bencana tidak semata dapat dipahami sebagai deretan angka dan statistik, melainkan sebagai pengalaman hidup yang dialami langsung oleh masyarakat dan tenaga kesehatan, sehingga sektor kesehatan selalu berada di garis depan setiap peristiwa bencana.

Lebih jauh, Madelina menguraikan bahwa tingginya risiko kebencanaan Indonesia yang dipengaruhi oleh kondisi geografis, perubahan iklim, kepadatan penduduk, serta kebijakan pembangunan menjadikan kesiapsiagaan sebagai kebutuhan mendasar, bukan pilihan. Melalui refleksi atas berbagai peristiwa besar, mulai dari tsunami Aceh 2004, rangkaian bencana pada 2018, hingga pengalaman krisis berlapis saat pandemi COVID-19, pihaknya menunjukkan bahwa pendekatan manajemen bencana kesehatan di Indonesia telah berevolusi dari fokus respons darurat menuju pembangunan sistem yang lebih sistematis, terintegrasi, dan berorientasi pada pengurangan risiko.

Dalam konteks kebijakan, Madelina menyoroti penguatan kerangka regulasi dan kelembagaan pasca reformasi, termasuk lahirnya berbagai undang-undang, peraturan, serta pedoman nasional yang mendorong kesiapsiagaan fasilitas kesehatan, pembentukan Health Emergency Operation Center dan Emergency Medical Team, serta integrasi bencana kesehatan ke dalam transformasi sistem kesehatan nasional. Narasumber menegaskan bahwa meskipun kapasitas sistem kini relatif lebih kuat, tantangan terbesar ke depan adalah memastikan partisipasi aktif masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan, agar manajemen bencana kesehatan benar-benar menjadi bagian integral dari ketahanan sistem kesehatan Indonesia.

Dalam sesi pembahasan, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.  menanggapi pemaparan sebelumnya dengan menekankan bahwa Indonesia secara geografis dan ekologis memang berada dalam kondisi yang menjadikan bencana sebagai bagian dari keseharian bangsa, baik akibat aktivitas tektonik, gunung api, perubahan iklim, maupun degradasi lingkungan. Ia menyoroti bahwa frekuensi dan keragaman bencana yang terus berulang menuntut adanya pendokumentasian yang serius dan berkelanjutan, karena tanpa catatan yang tertulis, pengalaman kolektif masyarakat terhadap bencana cenderung cepat dilupakan dan tidak terkonversi menjadi pengetahuan yang dapat dipelajari lintas generasi.

Berangkat dari pengalamannya terlibat langsung dalam penanganan tsunami Aceh 2004, Laksono menjelaskan bahwa pada masa itu manajemen bencana kesehatan masih sangat spontan dan belum ditopang oleh sistem yang matang, termasuk keterbatasan referensi dan standar operasional. Laksono mengisahkan bagaimana keterlibatan tim UGM saat itu lebih diarahkan pada penguatan sistem manajemen dan dokumentasi, bukan sekadar distribusi bantuan medis, karena data, koordinasi, dan pencatatan justru menjadi kebutuhan paling krusial di lapangan. Pengalaman tersebut kemudian mendorong upaya penulisan dan pendokumentasian yang rinci, mulai dari fase tanggap darurat, pemulihan, hingga rekonstruksi, yang kelak menjadi sumber pembelajaran penting bagi pengembangan manajemen bencana kesehatan di Indonesia.

Menutup pembahasannya, Laksono mengaitkan refleksi historis tersebut dengan situasi banjir besar yang tengah melanda Sumatera, khususnya Aceh, yang menurutnya memiliki karakter berbeda dengan bencana gempa karena berlangsung lebih lama dan berulang. Laksono juga menekankan pentingnya pencatatan detail atas penanganan banjir saat ini, bukan semata untuk kepentingan laporan, tetapi sebagai investasi pengetahuan agar Indonesia memiliki bekal historis dan sistematis dalam memperkuat mitigasi serta kesiapsiagaan menghadapi bencana serupa di masa depan.

 

Informasi selengkapnya:

Informasi Selengkapnya

Reporter:

Galen Sousan Amory, S. Sej.

SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera

SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan