KAJIAN SEJARAH KEBIJAKAN KESEHATAN
Penelitian Sejarah Kebijakan Kesehatan Pasca Reformasi Politik 1999 sampai Post-Pandemi Covid19
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan senantiasa dibutuhkan oleh manusia sejak lahir hingga meninggal dunia. Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan dari segi informasi, pelayanan preventif, promotif, kuratif rehabilitatif merupakan hal pokok yang yang mestinya bisa diakses oleh individu secara mudah. Bahkan paradigma pelayanan kesehatan kini bertambah seiring dengan pembaruan undang-undang di bidang kesehatan yaitu pelayanan kesehatan paliatif. Sejarah kesehatan di Indonesia memiliki beberapa rezim dan pembentukan-pembentukan awalnya tidak dapat dilepaskan dari pendudukan penjajah di masa lalu. Setidaknya sejarah kesehatan di Indonesia dapat terbagi ke dalam 4 periode. Periode yang pertama adalah periode kolonial, kemudian dilanjutkan dengan periode pasca kemerdekaan (orde lama), periode ketiga adalah orde baru dan periode keempat adalah periode reformasi. Masing-masing dari periode tersebut memiliki pengaruh masing-masing terhadap agenda pembangunan kesehatan di Indonesia yang selanjutnya akan dibahas dalam bab yang terpisah.
Kebijakan-kebijakan mengenai bidang kesehatan perlu dimunculkan, dengan tujuan untuk memahami apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut muncul dan juga menilai apakah efektivitas dari kebijakan di bidang kesehatan tersebut menimbulkan suatu dampak yang mempengaruhi kebijakan kesehatan di masa kini. Hal ini juga selaras dengan motif penelitian sejarah yang berupaya untuk mengadakan penyelidikan dan kemudian melaksanakan pencatatan mengenai hubungan sebab akibat dan perkembangannya.
Perkembangan Kebijakan Kesehatan sebelum Reformasi Politik 1999
Menurut Boomgaard (1996) dan Akira (1996), perjalanan sejarah pelayanan kesehatan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu kedokteran Barat di Asia sejak tahun 1649. Pada masa itu, pelayanan kesehatan Barat terutama ditujukan untuk keluarga bangsawan. Purwanto (1996) menambahkan bahwa rumah sakit pada masa kolonial di Hindia Belanda secara eksklusif diperuntukkan bagi orang-orang Eropa, terutama militer dan pegawai pemerintah kolonial. Masyarakat Timur Jauh, khususnya masyarakat Tiongkok, dipaksa oleh peraturan VOC dan pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan rumah sakit mereka sendiri, sementara penduduk pribumi diabaikan dalam pelayanan kesehatan. Catatan sejarah pada masa kolonial cenderung lebih fokus pada rumah sakit daripada pengobatan atau keberhasilan pengobatan.
Muhsin (2012) menyoroti kurangnya sejarah pengobatan pada masa kolonial karena efektivitas tenaga medis pada saat itu masih diragukan, terbukti dengan tingginya angka penyakit tropis. Pada abad ke-18, penulisan sejarah tentang rumah sakit meningkat, dengan contohnya adalah pendirian Rumah Sakit Kusta oleh dr. Ten Rhyne pada tahun 1680 di sekitar Teluk Jakarta, dikenal juga sebagai Pulau Purmerend. Namun, kesuksesan pengobatan masih diragukan, seperti terlihat pada pembentukan rumah sakit jiwa pada tahun 1769 di Jakarta yang kurang efektif dalam merawat pasien jiwa karena kekurangan tenaga dan terapis. Rumah sakit jiwa tersebut pada dasarnya didirikan untuk memisahkan pasien jiwa dari masyarakat umum (Lombard, 2005).
Pada akhir abad ke-19, misionaris Zending Kristen dan Ordo-Ordo Suster Katolik mulai menyediakan pelayanan rumah sakit bagi penduduk pribumi di Indonesia. Langkah ini kemudian diikuti oleh organisasi sosial-keagamaan Islam seperti Muhammadiyah yang mendirikan pelayanan kesehatan umum bagi penduduk pribumi di Yogyakarta pada tahun 1923. Bersama dengan rumah sakit yang dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda, berbagai rumah sakit swasta keagamaan juga mendapat subsidi dari pemerintah.
Dalam konteks perubahan dalam pengobatan pada masa kolonial, diperkenalkannya vaksin, kina, dan ilmu kedokteran kolonial dapat dianggap sebagai revolusi (Muhsin Z., 2012). Pada tahun 1779, mulai tersebar pamflet dan artikel ilmiah yang memperkenalkan vaksin untuk mengurangi kasus cacar di bandar-bandar pesisir. Upaya distribusi vaksin yang efektif dilakukan untuk meningkatkan efektivitasnya dan memastikan ketersediaan vaksin secara merata. Tingginya tingkat penyakit malaria mendorong pengenalan kina dan kebijakan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan akan kina serta pemilihan spesies kina yang efektif dalam penyembuhan malaria. Revolusi kesehatan juga mencakup pendirian lembaga pendidikan kedokteran seperti Dokter Jawa School pada tahun 1851, yang kemudian berkembang menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) pada tahun 1902, berbasis di Batavia. Di masa kolonial, dokter diizinkan untuk praktik swasta dan diberi gaji oleh pemerintah, membuat mereka menjadi profesional yang relatif kaya dengan gaya hidup kelas atas. Beberapa dari mereka bahkan belajar di Belanda dan menjadi tokoh perintis kemerdekaan (Depkes, 1978a).
Pada abad ke-16, sekitar tahun 1626, VOC mendirikan rumah sakit yang khusus melayani pegawai VOC saja, sementara penduduk pribumi diharuskan membayar sendiri (Kurniarini, Darini and Dewi, 2015). VOC pada saat itu hanya membiayai pengobatan pegawainya saja. VOC cenderung mengelola rumah sakit untuk kepentingan ekonomi, tanpa memprioritaskan pelayanan kesehatan untuk masyarakat umum. Perlu waktu sekitar 3 abad bagi pemerintah atau penguasa untuk mulai memperhatikan pembiayaan kesehatan agar pelayanan kesehatan lebih mudah dijangkau dan terjangkau.
Meskipun pembangunan di Pulau Jawa berkembang pesat, pemerataan kesehatan masih menjadi tantangan bagi Pemerintah Pusat dan Daerah saat ini. Kebijakan dan praktik kedokteran masih terpusat di Pulau Jawa sejak masa kolonial.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, terjadi kekacauan dalam tatanan hukum ketika pemerintah Indonesia merebut sebagian aset dari Belanda. Banyak rumah sakit militer, keagamaan, dan pemerintah kolonial Belanda yang berubah kepemilikannya menjadi milik TNI, pemerintah daerah, atau pemerintah pusat. Perpindahan kepemilikan dari lembaga keagamaan menjadi kepemilikan pemerintah menjadi salah satu faktor penyebab penurunan subsidi dari luar negeri (Trisnantoro, 1999).
Pada awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1953 tentang Merawat Orang-Keluarga Miskin dan Orang-Orang yang Kurang Mampu serta Undang-Undang No. 48 Tahun 1953. Kedua undang-undang ini menjadi dasar hukum untuk penunjukan rumah sakit swasta yang merawat keluarga miskin dan orang-orang kurang mampu, meskipun pelaksanaannya tidak jelas. Rumah sakit di Indonesia beroperasi dengan sumber anggaran yang terbatas dan harus mencari pendapatan sendiri untuk biaya operasionalnya. Pada masa Orde Lama, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan yang tidak bergantung pada bantuan asing untuk rumah sakit, sementara bantuan asing dari WHO dan USAID diarahkan untuk pemberantasan Malaria (Depkes, 1978b).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, sektor kesehatan di Indonesia mencatat kembalinya lembaga donor internasional seperti WHO dan UNICEF (Depkes, 1978c). Pelayanan kesehatan primer menjadi fokus utama. Sistem jaminan pembiayaan pemerintah masih terbatas bagi pegawai negeri dan militer, seperti yang telah terjadi sebelumnya (Guadiz-Padmohoedojo, 1995). Di sektor swasta, pengelola yayasan dan perkumpulan keagamaan mulai melihat rumah sakit sebagai institusi yang tidak lagi memerlukan dukungan finansial eksternal. Secara bertahap, banyak rumah sakit keagamaan mulai bergantung pada pendapatan sendiri, bukan subsidi luar seperti pada masa Hindia Belanda. Namun, perkembangan ini berdampak pada kekurangan dana bagi rumah sakit pemerintah di Indonesia, termasuk dalam hal pembayaran gaji dan insentif yang layak bagi dokter. Subsidi untuk rumah sakit pemerintah hanya terbatas pada gaji tenaga kesehatan dan pembelian peralatan. Sistem penggajian tenaga kesehatan, termasuk dokter, mengikuti pola pegawai negeri sipil, yang tidak selalu memenuhi harapan dokter. Insentif bagi dokter di rumah sakit pemerintah yang berasal dari pendapatan rumah sakit selama masa Operasi Tertib (Opstib) bahkan dianggap sebagai pelanggaran, menurut komunikasi pribadi dengan mendiang Dr. Sudibjo Sardadi MPH, yang menjabat sebagai direktur RS DR Sardjito pada tahun 1980-an.
Sebagai hasilnya, dokter spesialis pemerintah memanfaatkan waktu mereka untuk bekerja di rumah sakit swasta atau membuka praktik pribadi untuk meningkatkan penghasilan mereka. Hal ini tercermin dari fenomena dimana banyak rumah sakit yang didirikan atau dimiliki oleh dokter spesialis pemerintah di berbagai kota. Sebagai akibatnya, dokter tidak hanya bertindak sebagai tenaga medis, tetapi juga sebagai pemilik penyedia layanan kesehatan.
Salah satu titik penting dalam sejarah rumah sakit adalah perubahan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/86 terkait rumah sakit swasta. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan baru (Menkes/Per/II/1990), lembaga yang berorientasi pada profit diperbolehkan menjadi bentuk hukum rumah sakit. Perubahan ini menandai meningkatnya pengaruh pasar dalam sektor kesehatan di Indonesia.
Pada tahun 1990-an, pemerintah menyediakan subsidi biaya operasional melalui program OPRS dari Departemen Kesehatan dan SBO dari Departemen Dalam Negeri (Trisnantoro, 1999a). Namun, subsidi tersebut terbukti tidak mencukupi, dan tidak ada insentif untuk pendapatan dokter. Melalui Keputusan Presiden Nomor 38 tahun 1991, pemerintah Indonesia memperkenalkan kebijakan rumah sakit swadana. Kebijakan ini bertujuan memberikan otonomi keuangan kepada rumah sakit yang didukung oleh konsep subsidi silang pasien di rumah sakit. Namun, konsep subsidi silang ini tidak berhasil karena sulit untuk mendapatkan keuntungan dari pasien kaya untuk digunakan sebagai subsidi bagi pasien miskin. Kebijakan swadana kemudian dihentikan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1998, dan digantikan dengan konsep Perusahaan Jawatan (Perjan) untuk RSUP. Pada tahun 2005, terjadi perubahan lagi di mana status RSUP sebagai Perjan diubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005.
Perubahan ini menunjukkan adanya proses korporatisasi rumah sakit pemerintah. Korporatisasi menjadikan rumah sakit pemerintah sebagai lembaga usaha (walaupun tidak diswastanisasi). Gejala ini terjadi di berbagai belahan bumi dengan didahului oleh rumah sakit di Amerika Serikat (Preker, 2003; Eid, 2001; Shortel dkk, 1992).
Pada akhir tahun 1990-an, terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang membuat akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan menjadi sulit. Salah satu faktor penyebab krisis tersebut adalah kerentanan ekonomi Indonesia karena dampak dari liberalisasi perdagangan pasar modal dan keuangan (Stiglitz, 2002), serta kurangnya transparansi dan demokrasi (Sadli, 1999). Sebagai respons terhadap hal ini, pemerintah Indonesia meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau social safety net. Program ini merupakan bentuk pengaman sosial yang digunakan oleh negara-negara yang berlandaskan mekanisme pasar, sebagai sistem perlindungan bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membeli layanan kesehatan (Kovner dan Jonas, 1999). Di Amerika Serikat, program ini dikenal dengan kebijakan Medicaid dan Medicare yang diberlakukan pada tahun 1960-an.
Program JPS ini kemudian diikuti dengan kebijakan penyediaan dana keluarga miskin yang berasal dari dana kompensasi BBM mulai tahun 2001. Dengan adanya model JPS maka kebijakan yang dipakai adalah: pemberi subsidi adalah pemerintah bukan pasien rumah sakit yang kaya dengan konsep subsidi silang.
Pada tahun 1999, kebijakan desentralisasi diberlakukan di Indonesia, yang menghasilkan perkembangan wilayah menjadi berbagai lingkungan ekonomi yang berbeda-beda. Setiap wilayah dapat memiliki sistem kesehatan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di wilayah dengan tingkat ekonomi yang kuat, layanan kesehatan swasta mungkin dominan. Selama periode ini, sektor kesehatan mengalami banyak perubahan, termasuk dalam hubungannya dengan pemerintah daerah dan swasta.
Pada tahun 2020, terjadi pandemi Covid-19 yang memiliki dampak yang sangat serius. Sistem kesehatan hampir mengalami kegagalan total. Namun, selama masa pandemi Covid-19, berbagai inovasi diimplementasikan dalam sektor kesehatan. Inovasi-inovasi ini menjadi dasar dari kebijakan Transformasi Kesehatan yang diperkuat oleh Undang-Undang Kesehatan tahun 2023 yang bersifat Omnibus Law. Sebelas undang-undang terkait sektor kesehatan dicabut dan diperbaiki. Namun, masih banyak undang-undang yang mengatur sektor kesehatan yang belum dimasukkan ke dalam Omnibus Law, termasuk Undang-Undang SJSN (2004) dan Undang-Undang BPJS (2011).
Perlunya penelitian sejarah kebijakan kesehatan Pasca Reformasi Politik 1998 dan dalam pelaksanaan UU no 17 tahun 2023 tentang Kesehatan
Kebijakan kesehatan seperti yang terjadi di Indonesia sebelum Reformasi Politik 1998 merupakan suatu proses panjang, berkesinambungan dan juga ada yang tidak berkesinambungan, dan termasuk dalam area untuk diperdebatkan secara historis. Untuk itu perlu kita cermati definisi kebijakan kesehatan:
Health policy embraces courses of action that affect the set of institutions, organizations, services, and funding arrangements of the health care system. It goes beyond health services, however, it includes actions or intended actions by public, private, and voluntary organizations that have an impact on health (Walt, 1994).
Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai kebijakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Pemahaman tentang arti kebijakan kesehatan dilengkapi oleh Janovsky & Cassels (1996), sebagai:
“The networks of interrelated decisions which together form an approach or strategy in relation to practical issues concerning health care delivery”.
Atas dasar itu ia membagi kebijakan kesehatan dalam Kebijakan teknis (technical policies) atau kebijakan operasional (operational policies) yang cenderung bernuansa pelaksanaan kegiatan dan Kebijakan institusional (institutional policies) atau kebijakan strategis (strategic policies) yang cenderung bernuansa strategis. Oleh karena itu, ada yang melihat kebijakan kesehatan sebagai kebijakan publik karena memang memuat kebijakan publik yang tak ada perbedaan namun berlaku untuk bidang kesehatan.
Kebijakan Kesehatan sendiri tidak lepas dari perkembangan sejarah pemerintahan di suatu negara. Oleh karena itu penulisan ini mengambil pokok awal dari adanya Reformasi Politik di tahun 1999 yang menutup era Orde Baru di bawah Presiden Suharto menjadi era Reformasi dengan demokrasi multi-partai dan desentralisasi pemerintahan ke provinsi dan kabupaten/kota.
Secara ideologis, beberapa pihak memandang pelayanan kesehatan sebagai hak untuk semua orang. Pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan manusia yang pantas untuk didapatkan oleh semua pihak. Pendanaan kesehatan menjadi hal yang sangat penting dalam ideologi kebijakan kesehatan yang sangat diperhatikan dalam Reformasi 1999.
Reformasi ini berjalan terus dan hasilnya tidak meyakinkan. Ketika Covid19 terjadi, sistem kesehatan berada dalam situasi yang sangat buruk dan nyaris tidak mampu melawan pandemik. Namun dengan berbagai keberanian dan inovasi baru, Pandemik Covid19 dapat ditangani dengan baik dan menjadi modal untuk melakukan transformasi kesehatan. Kebijakan transformasi ini kemudian diperkuat dengan UU Kesehatan 2023.
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan tersebut, maka yang akan dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah dinamika dan perubahan-perubahan penting dan mendasar dalam berbagai aspek (hukum, sosial dan politik) mengenai kebijakan kesehatan di Indonesia sejak masa Reformasi sampai dengan masa Post-Pandemi Covid-19. Untuk memudahkan dalam operasional penelitian, rumusan masalah tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian yaitu:
- Kondisi sosial-politik apa yang melatarbelakangi disusun dan diterapkannya berbagai peraturan perundangan mengenai kesehatan pada periode itu?
- Faktor dan pertimbangan apa yang mendasari pemerintah diterapkannya berbagai kebijakan kesehatan di Indonesia pada periode itu?
- Apa dampak dari penerapan kebijakan kesehatan tersebut bagi kondisi kesehatan masyarakat khususnya dan kehidupan bernegara umumnya?
- Bagaimana praktik penerapan kebijakan kesehatan di berbagai daerah di Indonesia?
- Siapa saja tokoh yang mempunyai kontribusi penting dalam berbagai kebijakan kesehatan di Indonesia?