6 mins read

Reportase Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan Seri 2

Disrupsi Kebijakan dan Dilema Desentralisasi Pada Masa Jaminan Kesehatan Nasional, Tahun 2009 – 2019

PKMK-Yogyakarta.  Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM bekerjasama dengan Departemen Sejarah FIB UGM menyelenggarakan Webinar Seri Sejarah Kebijakan Kesehatan “Perkembangan Transformasi Kebijakan Kesehatan di Indonesia, Dari Reformasi Hingga Pasca COVID-19, 1999-2023” pada April hingga Juni mendatang. Kali ini webinar mengangkat topik “Disrupsi Kebijakan dan Dilema Desentralisasi Pada Masa Jaminan Kesehatan Nasional, 2009 – 2019”, yang diselenggarakan pada Rabu (30/4/2025). Webinar ini membahas penerapan dari kebijakan kesehatan pada masa setelah Desentralisasi hingga Masa Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional, antara rentang 2009 hingga 2019. Diskusi ini diharapkan dapat memahami sejarah kebijakan kesehatan dengan menganalisis konteks sosial, ekonomi, dan politik yang mempengaruhi kebijakan kesehatan di Indonesia pada masa pasca desentralisasi diterapkan hingga masa jaminan kesehatan nasional (2009-2019). Selain itu, diharapkan dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan kesehatan yang diterapkan sehingga dapat menjadi wadah berdiskusi akan tantangan dan peluang dalam implementasi dari penerapan reformasi di bidang kesehatan.

Dalam pengantar webinar seri kedua ini, Prof. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD menekankan bahwa implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan titik balik penting dalam sejarah sistem kesehatan Indonesia, yang membawa dampak besar tidak hanya secara teknis, tetapi juga secara politik dan kelembagaan. Laksono menyoroti bahwa di tengah reformasi, Kementerian Kesehatan justru menghadapi tantangan serius akibat konflik antar lembaga, defisit BPJS, dan kompleksitas regulasi. Laksono mengajak peserta untuk memahami kebijakan kesehatan secara historis dan kontekstual, tidak hanya dari aspek hukum, tetapi juga dinamika sosial, ekonomi, dan politik pasca reformasi.

Mengakhiri pengantarnya, Laksono mengutip sejarawan Amerika Stephen Ambrose: “The past is a source of knowledge, and the future is a source of hope.” Dengan kutipan ini, pihaknya mengajak para peserta untuk tidak sekadar mempelajari masa lalu sebagai catatan, tetapi sebagai sumber pelajaran penting yang dapat menjadi pijakan menuju masa depan kebijakan kesehatan yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan. Pemahaman sejarah, dengan demikian, bukan hanya upaya akademik, tetapi juga langkah strategis untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Pemaparan dari Baha’Uddin, M.Hum dalam webinar ini menguraikan dinamika kebijakan kesehatan Indonesia pada periode 2009–2019, yang menjadi tonggak utama implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Masa ini diposisikan sebagai fase kedua dalam periodisasi sejarah kebijakan kesehatan Indonesia, yang sebelumnya dimulai dari era desentralisasi (1999–2009), dan kemudian berlanjut ke masa pandemi serta reformasi sistem kesehatan pasca-2023. Menggunakan kerangka Six Building Blocks dari WHO, Pak Baha membahas bagaimana pelaksanaan JKN membawa disrupsi signifikan di hampir seluruh elemen sistem kesehatan, mulai dari tata kelola, pembiayaan, pelayanan, hingga sumber daya manusia.

Dalam aspek tata kelola, meskipun regulasi seperti UU Nomor 36 Tahun 2009 dan UU No. 24 Tahun 2011 memperkuat jaminan kesehatan sebagai hak warga negara, Kementerian Kesehatan justru mengalami pelemahan peran akibat dominasi BPJS dan tantangan desentralisasi. Pemerintah daerah memperoleh kewenangan besar dalam urusan kesehatan pasca-UU No. 23 Tahun 2014, namun sering kali tidak disertai dengan kesiapan sumber daya dan koordinasi antar pemerintah. Dari sisi pelayanan, pertumbuhan rumah sakit swasta dan sistem rujukan yang diperkuat lewat SISRUTE menandai transformasi sistem. Di sisi lain, Puskesmas dan Posyandu tetap diupayakan sebagai pilar utama pelayanan primer melalui program seperti GERMAS dan PIS-PK, meskipun kualitas layanannya masih bervariasi. Layanan spesifik seperti kesehatan gigi, paliatif, tradisional, dan wisata medis juga mulai dikembangkan.

Pada dimensi pembiayaan, meskipun JKN bertujuan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta, defisit besar BPJS dan ketidakmampuan pemerintah daerah memenuhi mandatory spending menjadi hambatan besar. Pemerintah mengandalkan dana dari pajak dosa dan pinjaman internasional, namun efektivitas penggunaannya masih dipertanyakan. Sistem informasi kesehatan mulai terdigitalisasi, namun implementasinya tidak merata. Sementara itu, sumber daya manusia menghadapi tantangan serius dari sisi regulasi, distribusi, dan dominasi organisasi profesi. Pak Baha menutup paparannya dengan refleksi bahwa meskipun banyak kemajuan telah dicapai, sistem JKN masih menyisakan pekerjaan rumah besar, terutama dalam hal pemerataan layanan, keberlanjutan fiskal, dan efektivitas koordinasi lintas lembaga. Reformasi yang lebih menyeluruh dibutuhkan agar sistem kesehatan Indonesia benar-benar inklusif, adil, dan adaptif terhadap tantangan masa depan.

Dalam paparannya,  dr. Siswanto, MHP., DTM dari Kemenkes RI menjelaskan secara menyeluruh dinamika sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia dalam konteks implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ia menegaskan bahwa pelayanan kesehatan memiliki sifat dan pembiayaan berbeda—barang publik seperti imunisasi dan promosi kesehatan semestinya dibiayai negara, sedangkan layanan bersifat individual bisa dibiayai oleh asuransi atau pengguna langsung. Kerangka sistem JKN yang dibangun melalui UU No. 40 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2011 menekankan prinsip asuransi sosial, dengan tiga fungsi utama: pengumpulan dana, penggabungan dana (pooling), dan pembelian layanan kesehatan (purchasing).

Siswanto mengkritisi bahwa pemahaman terhadap Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia masih sempit, karena hanya berfokus pada jumlah peserta, tanpa memperhatikan cakupan manfaat dan beban biaya. Ia juga meninjau sejarah jaminan kesehatan sejak era krisis 1998, hingga penyatuan skema dalam BPJS Kesehatan pada 2014. Sistem pembayaran layanan turut berubah dari Fee for Service ke case-based payment seperti INA-CBGs untuk mengendalikan biaya dan klaim. Namun, sejumlah tantangan tetap ada, seperti rendahnya kepatuhan peserta aktif, pemahaman terbatas terhadap prinsip asuransi sosial, serta munculnya moral hazard dari penyedia maupun peserta layanan. Masalah tumpang tindih pembiayaan dan ketergantungan pada barang impor juga turut memperumit sistem. Sebagai solusi, Dr. Siswanto menawarkan tujuh rekomendasi kebijakan, antara lain revisi UU SJSN, pengembangan asuransi tambahan, penguatan FKTP sebagai gatekeeper, hingga asesmen manajemen rumah sakit dan perluasan Health Technology Assessment. Beliau menutup dengan penekanan bahwa masa depan JKN tidak hanya bergantung pada desain teknis, tetapi juga pada keberanian politik untuk mengevaluasi dan mereformasi struktur kebijakan agar tetap menjamin keadilan dan keberlanjutan sistem kesehatan nasional.

Pada penutupan webinar kali ini, moderator menyampaikan juga bahwa akan ada agenda terdekat berupa diskusi mengenai Sejarah Kebijakan Kesehatan pada masa Jaminan Kesehatan Nasional. Kegiatan ini akan dilaksanakan pada 14 Mei 2025 dengan Tema “Strategi Adaptif: Kebijakan Kesehatan pada Masa COVID-19, 2020 – 2022” dengan narasumber Nirmala Ahmad Ma’ruf, SKM., M.Si (BKPK Kementerian Kesehatan).

Selengkapnya:

https://sejarahkesehatan.net/webinar-seri-sejarah-kebijakan-kesehatan-perkembangan-transformasi-kebijakan-kesehatan-di-indonesia-dari-reformasi-hingga-pasca-covid-19-1999-2023/
Reporter:

Aulia Putri Hijriyah, S. Sej.,

Galen Sousan Amory, S. Sej.